Thursday, October 11, 2012

Bersiaplah Menjadi Kalkun


Bersiaplah Menjadi Kalkun..

Kita tentu pernah mendengar comfort zone atau zona nyaman, atau bahkan kita tidak sadar telah sekian lama berada dalam zona nyaman tersebut. Namun, pada dasarnya, zona nyaman adalah suatu kewajaran dan alamiah. Sekilas, tampaknya tidak ada yang salah dengan zona nyaman ini. 

Seperti namanya, zona nyaman adalah sebuah zona atau wilayah pertumbuhan di mana kita merasa nyaman melakukan aktivitas di dalamnya. Biasanya, hal ini disebabkan kita sudah terbiasa melakukan aktivitas tersebut, sehingga tidak lagi merasakan ketakutan atau kegelisahan, juga tidak perlu bersusah payah menyelesaikannya. Ada sebuah kutipan yang berisi, there is no growth in comfort zone and there is no comfort in growth zone ( Tidak ada pertumbuhan di zona nyaman dan tidak ada kenyamanan dalam zona pertumbuhan)

Semua orang ingin selalu berada di zona nyaman bukan? 
Dalam konteks Mikro:  Sejak kita dilahirkan, kita dilatih untuk senantiasa berada dalam zona nyaman, daerah yang nyaman dan terlindungi. Kita diberi ASI dan dicukupkan segala keperluannya oleh orangtua. Dilindungi dari kepanasan dan kedinginan, didekap dan dicium dengan penuh kasih sayang. Itu semua adalah zona nyaman yang kita rasakan sejak awal terlahir ke dunia. Lalu, waktu beranjak dewasa dan mengusik zona nyaman kita. Alam dan lingkungan telah berubah, mau tidak mau kita harus bisa cepat beradaptasi lagi. Misalnya, setelah kita agak besar, orangtua akan berhenti memberi ASI dan mulai menyuruh kita untuk bisa mandiri. Perubahan ini membuat kita “tidak nyaman” karena zona nyaman kita terusik. Sebagai bentuk keterusikan, kita akan protes, demo, dan tidak menerima. Namun, setelah menjalaninya selama sekian lama, akhirnya kita bisa menerima dan menganggapnya sebagai zona nyaman yang baru.

Mari kita simak narasi lanjutan dari tulisan ini..
Cobalah kita lihat rata-rata jalur perjalanan karier yang "ingin" dilalui oleh sebagian besar dari kita disini. Semuanya berharap dapat melalui jalur jalan yang secara terminologi tidak resmi kepolisian diakui sebagai jabatan ”basah” dan menghindari jabatan ”kering”. Karena jabatan basah dianggap sebagai sebuah zona nyaman dan jabatan kering dianggap sebagai ”zona tidak nyaman”. Akibatnya ada steorotifikasi jabatan, 
- bahwa jabatan operasional adalah basah, sedangkan jabatan non-operasional adalah jabatan kering; 
- bahwa di kewilayahan adalah basah di staf dan lemdik adalah kering; 
- bahwa di Polda tertentu adalah enak dan Polda lain adalah tidak enak,
- bahwa yang berhubungan dengan pelayanan kepada Polisi rejekinya dari polisi yang dilayani; dan yang berhubungan dengan masyarakat, rejekinya dari masyarakat yang dilayani; 
dan sterortifikasi lain-lainnya. Zona-zona nyaman sebagaimana contoh diatas, ternyata selama ini diciptakan oleh kita melalui proses karsa dan rasa selama bertahun-tahun., sehingga memunculkan sebuah perspektif antara lain perwira/ anggota Polri tertentu merasa terpakai dan yang lain merasa terbuang/ terpinggirkan karena jabatan/ posisi nya tidak sebagaimana yang dianggap diatas.

Dan parahnya, ada sebagian dari kita yang menganggap bahwa zona nyaman itu (yang kita pernah tempati/ kita sedang tempati/ kita harapkan akan  tempati/ kita nanti-nantikan untuk ditempati) ternyata merupakan sebuah zona nyaman semu yang bukan saja dapat menjerumuskan kita sebagai individu, juga dapat mendelegitimasi peran kelembagaan Polri dalam Sistem Administrasi kenegaraan maupun dalam tataran kehidupan berbangsa lainnya. Akibatnya, kalau kita menengok pada upaya reformasi kultural yang sedang dilaksanakan Polri saat ini, maka kita bisa melihat betapa beratnya reformasi ini berjalan karena dipengaruhi oleh faktor diatas. 

Faktor tersebut yang kemudian secara perlahan menjadi kejanggalan "pedoman nilai" dan "mengarahkan" pada pola tindak dan perilaku manusia-manusia Polri (sebagaimana konsep Budaya Pak Parsudi Suprlan). Akibat dari semua itu, menjadi tidak mengherankan bahwa jabatan dan posisi bukan lagi dianggap sebagai amanah, namun dianggap sebagai "berkah" ataupun "hak" yang harus diraih sebisa-bisanya ataupun sudah menjadi haknya dan dipertahankan sekokoh mungkin kala dirasa jabatan atau posisi tersebut masuk dalam katogori zona nyaman (baca: jabatan basah/ bergengsi) seperti contoh diatas. Saling silang sikut adalah biasa, susah melihat orang senang juga biasa, dan juga lebih senang lagi kalau melihat orang susah. 
Sama juga dalam lingkungan lebih Makro, dalam konteks Polri: 
Sejarah membuktikan bahwa Polri lahir sejak jaman kemerdekaan yang lalu. Namun fakta baru, sejarah juga membuktikan bahwa sebagai Polri yang Polisi sipil baru lahir pada masa Reformasi pada tahun 1999 saat pemisahan Polri dari ABRI. Ini berarti bahwa Polri masih sedang dalam masa pertumbuhan untuk betul-betul mentransformasi dirinya sebagai Polisi Sipil. Umur kita sebagai Polisi Sipil baru 13 tahun, namun masyarakat sudah tidak sabar menantikan sebuah kedewasaan baru dari kita dengan meninggalkan "zona nyaman perlindungan dari kewenanagn kekuasaan" yang selama ini dinikmati.   

Banyak kalangan sekarang menilai ”zona nyaman Polri” mulai terusik dengan keberadaan KPK. Hal itu bisa terjadi karena Polri selama ini sangat berperan dalam berbagai interaksi kehidupan bangsa dan semenjak ada KPK, Polri dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Namun kalau dicermati apakah tidak sebaliknya? Bahwa justru ”zona nyaman KPK” yang terganggu dengan ketegasan Polri terakhir ini? Apakah para komisioner KPK sadar, bahwa sejarah dari lahir, merangkak hingga berdirinya KPK sampai sekokoh ini ada pengaruh dan peran keikhlasan Polri didalamnya? Mengapa mereka pada akhir-akhir ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan Polri? sehingga mereka secara smoothly mengurangi peran pelibatan anggota Polri dalam level atas, dan dengan hanya menyisakan peran kecil Polri pada level pelaksana.

Bayangkan betapa kinerja mereka sangat terpengaruh oleh kekuatan penyidik yang faktanya sebagian besar dari penyidik itu adalah rekan-rekan kita dari Polri namun peran penyidik itu dikecilkan kala mereka menuai pujian masyarakat dan dibesarkan kala mereka berhadapan dengan masalah. Yang dimaksud dengan peran penyidik dikecilkan ini adalah misalnya kala mereka berhasil dalam sebuah kasus, maka dalam berbagai propaganda tiada pernah sedikipun menyebutkan peran keberhasilan penyidik yang notabenenya anggota Polri. Sedangkan yang saya maksud dengan peran penyidik dibesarkan dan dimunculkan adalah ketika terjadi masalah, mereka selalu berdalih: ”kami tidak dapat bekerja dengan baik karena kekurangan penyidik”. Ini adalah kata-kata bualan yang sebenarnya mereka mencoba mengalihkan kegagalan mereka pada pihak lain (Polri). Disisi lain ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya mereka butuh institusi Polri yang selama 10 tahun sangat besar perannya.

Kalau kita mau mencermati dengan seksama perkembangan kondisi tanah air dewasa ini, maka akan terlihat bahwa zona Nyaman KPK mulai terganggu, oleh konsistensi Polri yang bersikukuh meminta KPK mengembalikan pinjamannya. Saya selalu percaya, bahwa konsistensi itu adalah kunci kekuatan. Seperti cerita saya kemarin, Polri harus kuat, karena dengan kekuatan-lah disitu letak kemampuan kita melayani masyarakat. 

Namun disisi lain, apakah Polri bisa merebut momentum ini untuk mengembalikan "polling kepercayaan masyarakat?" Lagi-lagi tak bosan-bosanya saya sampaikan bahwa dalam konteks ini dibutuhkan konsistensi luar biasa dari kita-kita untuk memainkan lagu klasik "tindakan kecil tapi besar artinya' ditengah-tengah masyarakat..  Biarlah lagu Rock itu sekali-kali berdengung dan dimainkan oleh group-group besar. Silahkan mereka menciptakan lagu baru untuk memberi hiburan para penggemarnya, namun Percayalah itu akan berakhir seiring dengan waktu, dan penonton kembali terlena dengan lagu-lagu klasik yang kita mainkan.. 

Kembali kepada Zona Nyaman dan ide judul tulisan saya diatas, Simaklah cerita populer warga Amerika seperti dibawah ini:

Dahulu kala, Elang dan Kalkun adalah sahabat baik. Mereka sering terbang bersama, mencari makanan dan menghabiskan waktu dengan melintasi udara. Zaman dahulu kalkun dapat terbang setinggi elang dan dengan tubuh rampingnya ia dapat mencari makanan dengan gesit bersama elang. Bukan sesuatu yang janggal bila ada elang pastilah di sana terdapat kalkun menemaninya dan manusiapun merasa hal itu adalah sesuatu yang wajar.

Di suatu hari yang terik saat keduanya sedang asik terbang, kalkun berkata pada elang “Mari kita mencari makan, perutku mulai merasa lapar” dan elang menyetujuinya.Turunlah elang dan kalkun disebuh peternakan yang besar milik seorang petani, tiba-tiba ketika sedang mencari makan di rindangnya pepohonan, seekor sapi yang lewat mempersilahkan elang dan kalkun untuk mengambil jagung yang sedang dimakan sapi.

“Silahkan ambil jagung ini jika kalian mau”.

Elang dan kalkun pun terkejut, baru kali ini mereka ditawari makanan, selama ini mereka harus mencari makanan sendiri, terbang ber mil mil jauhnya dan tidak pernah berpikir apa yang akan dimakan besok, karena mereka harus berburu untuk makan.

Mengapa kau memberikan jagung ini kepada kami?” Tanya elang kepada sapi. “Kami di sini memiliki banyak makanan, petani selalu memberikan kami makanan dan kami tidak perlu mencari apapun, seluruh makanan enak selalu tersedia untuk kami tiap hari”.

Betapa terkejutnya Elang dan kalkun saat mendengar jawaban sapi. Dengan lahapnya elang dan kalkun memakan hidangan yang diberikan sapi. Keesokan harinya elang dan kalkun datang lagi ke peternakan dan memakan makanan yang disajikan dengan penuh kesenangan. 

Hari pun terus berlalu dengan makanan yang berkelimpahan hingga suatu hari kalkun berkata pada elang
“Sahabatku, sebaiknya kita tetap di sini, di peternakan ini kita tidak perlu bersusah payah mencari makanan semua tersedia hanya untuk kita”.

Elang pun menjawab dengan penuh pertimbangan, keinginannya untuk berpetualang dan menemukan hal baru serta menerima tantangan baru tiap hari dan menikmati kemerdekaannya untuk terbang bebas membuat Ia enggan untuk menerima ajakan kalkun.

Kalkun tetap dengan keputusannya untuk tetap tinggal dan elang mengucapkan salam perpisahan kepada teman lamanya kalkun, sambil terbang tinggi di angkasa.

Hari berganti hari, kalkun dengan kehidupan di peternakan dipenuhi dengan kenikmatan makanan yang berlimpah dan setiap hari yang santai sehingga tubuhnya menjadi gemuk, Ia pun tidak pernah terbang lagi karena untuk menemukan makanan ia cukup berjalan menggunakan kakinya.

Hingga di suatu malam, kalkun mendengar istri sang petani akan memasak hidangan kalkun panggang untuk merayakan Thanksgiving, kalkun merasa terancam dan memutuskan untuk pergi dari peternakan tersebut, namun tanpa ia sadari keahliannya untuk terbang sudah lenyap, ia hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya yang terbebani oleh bobot badannya yang berat. Dan di hari Thanksgiving sang petani pun melahap sajian kalkun panggang yang lezat.  


Dari cerita diatas, kita dapat menarik pelajaran bahwa orang yang berani mengambil resiko dengan keluar dari zona nyaman-nya-lah yang akan berhasil menjadi pemenang. Saya selalu kagum kepada orang-orang yang tau apa yang dia inginkan, konsisten terhadap apa yang dia inginkan, dan berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan. Tidak banyak orang yang seperti itu, karena mayoritas orang hanya stuck di zona nyamannya masing-masing, tidak berani untuk mengambil resiko. Padahal,: kapal lebih baik dia berlayar mencapai tujuan walaupun pada akhirnya dia hancur karena hantaman gelombang, daripada dia dibiarkan terus berlabuh di dermaga yang akhirnya juga akan tetap menjadi besi tua..

Saat kita terlalu lama berdiam di comfort zone dan tidak siap keluar dari kenyamanan semu itu..., saat itu pulalah kita bersiap menjadi kalkun..




Hanya sebuah renungan

No comments:

Post a Comment