Thursday, October 11, 2012

Dilema Pelayanan yang Prosedural


Saya baru saja membuka-buka Perkap Nomor 14, 2012. Ada sebuah catatan kecil yang ingin saya sampaikan disini.

Dalam Pasal 14 disebutkan tentang
(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.
(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.
(3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.

Bila kita cermati dengan seksama,, dan bila pasal 14 ini dipedomani betul oleh para petugas Polri yang berada di SPKT,, maka beberapa langkah yang akan dilakukan oleh mereka ketika menerima pengaduan masyarakat, antara lain yaitu:
1)     Pelapor datang, diterima dengan 3S (senyum sapa salam)
2)     Setelah itu pelapor akan diinterogasi secara singkat tentang peristiwa yang dilaporkan termasuk tentang identitas pelapor.
3)     Petugas mencatat dalam kertas kosong tentang peristiwa yang dilaporkan tersebut
4)     Petugas menanyakan “barang bukti” ataupun “alat bukti” lain yang sekiranya bisa dijadikan dasar mendukung laporan tersebut.
5)     Ada kalanya petugas meminta pelapor kembali lagi mebawa “barang bukti” yang dibutuhkan tersebut (sebenarnya ini tugas penyidik)
6)     Setelah petugas memahami peristiwa yang dilaporkan, maka dia akan membuka-buka KUHP ataupun peraturan perundang2an yang lain untuk memastikan pasal yang akan diterapkan dalam LP (bayangkan disini, petugas SPKT sudah bisa menentukan pasal yang disangkakan, sementara penyelidikan saja belum dilakukan)
7)     Kalaupun petugas SPKT tidak memahami pasal yang disangkakan, ybs akan berkonsultasi dengan para penyidik untuk mengetahui pasal apa yang disangkakan dan “dituliskan” di dokumen LP
8)     Selanjutnya petugas mulai duduk didepan computer, mengetik LP tersebut sambil bertanya ulang tentang peristiwa yang dilaporkan kepada saksi korban.
9)     Setelah LP selesai dibuat, maka petugas mencetak LP tersebut dan menyodorkan kepada pelapor untuk dibaca ulang dan ditandatangani,
10) Setelah selesai menandatangani LP, maka petugas SPKT membawa korban ke piket reskrim untuk dilakukan pemeriksaan dan dibuat BAP (Pasal 14 ayat 3)
11) Kembali lagi piket reskrim menanyakan dari awal duduk masalah yang dialami oleh pelapor,.,
12) Pelapor kembali menjelaskan ceritanya untuk yang kesekian kali..
13) Setelah agak paham duduk masalahnya, maka petugas piket reserse kembali duduk didepan computer untuk membuat BAP.
14) Kembali lagi pertanyaan yang sama diulang kepada pelapor tentang identitas pelapor, apa yang dilaporkan, siapa yang disangkakan, dimana peristiwanya dsb…
15) Setelah itu BAP dibacakan kembali kepada pelapor dan diperbaiki bila ada yang tidak pas
16) Selanjutnya BAP ditanda tangani
17) Dan pelapor dibuatkan surat tanda penerimaan laporan
18) Pelapor diantar dengan senyum sapa salam keluar ruangan

Kalau ditelisik secara mendalam rangkaian proses diatas, maka aka ada beberapa kondisi kritis yang menyertai proses pelaporan tersebut, yaitu:

Pertama;
Seramah-ramahnya ataupun secepa-cepatnya pelayanan,, proses diatas membutuhkan waktu yang cukup lama dan berbelit. Kalau hal ini kita lakukan survey kepada mereka secara tertutup dan dilakukan bukan oleh Polri, maka kita akan dapatkan jawaban yang mencengangkan bahwa proses pelaporan ini membutuhkan waktu yang cukup lama.

Kedua:
Ada satu titik kritis dimana petugas seperti “tidak perlu merasa bersalah” apabila mereka menerima laporan, dan mereka tidak mendatangi TKP., karena dalam prosedur penerimaan Laporan di perkap tersebut, tidak dijelaskan kewajiban/ keharusan/ saran untuk mendatangi TKP

Ketiga:
Apabila kita mengacu kepada pendekatan “titik kepuasan” maka akan terlihat bahwa ketika langkah2 diatas diikuti dengan penuh rasa tanggung jawab oleh para petugas di SPKT, mereka dianggap telah melakukan pekerjaan dengan mengikuti prosedur, namun hasilnya apakah akan membuat para “pelanggan kita” menjadi puas akan pelayanan Polri...????

Apalagi,,, kalau ternyata petugas pelayanan melaksanakan pekerjaannya dengan mental, kemampuan dan sarana yang tidak kapabel,, bisa dibayangkan kualitas jasa yang kita berikan kepada para pelapor..

Cobalah kita andaikan kalau diri kita yang menjadi korban kejahatan, misalnya kita sebagai pihak yang kehilangan mobil/ sepeda motor. Segera setelah kita kehilangan kendaraan tersebut maka, kita akan lari ke kantor polisi terdekat untuk membuat Laporan Polisi.

Faktanya, setelah kita lari ke kantor polisi delapan belas langkah seperti diatas lah yang akan kita hadapi sebagai korban. Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses tersebut? Dan apa hasil yang kita dapatkan sebagai korban? Hanya sebuah Surat tanda penerimaan Laporan? Sementara apa harapan tertinggi korban ketika mereka melaporkan peristiwa pidana?

Mari kita elaborasi tingkat harapan korban kehilangan kendaraan.
Ketika mereka melaporkan peristiwa yang dihadapi apakah kira2 harapan tertinggi mereka? Pelaku tertangkap?

Menurut saya bukan. Harapan tertinggi kita ketika kita melapor ke Polisi adalah kendaraan kita kembali dengan utuh ketangan kita. Namun apakah polisi bisa melakukan itu?
Kalaupun polisi tidak bisa melakukan itu, syukur-syukur kita harapkan polisi bisa membantu menangkap pelakunya? (sebenarnya banyak pelapor yang tidak peduli, apabila polisi bisa menangkap atau tidak menangkap pelakunya) Bagi mereka itu urusan polisi untuk menangkap pelaku, bagi mereka urusan mereka tetaplah barang bisa kembali.

Permasalahannya, apakah Polisi mampu mengembalikan barang mereka yang dicuri? Apakah polisi mampu menangkap pelaku curanmor tsb? Kalau saya berkaca kepada diri saya sendiri, maka jujur saya katakana tidak lebih dari 5 persen kasus curanmor yang terungkap selama saya bertugas di kewilayahn. Dan hanya sedikit sekali barang bukti yang bisa kita temukan apalagi kita kembalikan kepada pemiliknya.
Ini artinya, Polisi tidak bisa memenuhi harapan tertinggi dari para pelapor. Pada titik ini polisi tidak bisa memenuhi tingkat “kepuasan pelanggan” spt yang diharapkan.

Jadi mari kita sebagai korban menurunkan sedikit harapan kita, kita lapor karena berharap setidaknya kalaupun barang kita tidak bisa ketemu, ya sukur2 ada surat pengantar ke Asuransi bahwa kita telah kehilangan ranmor.
Nah disini lagi-lagi proses panjang menghadang kita dari mulai BAP, sampai resume dan…… harus ada surat pengantar dari Polda… OMG (Oh My God)… Bagaimana kita bisa puas kalau proses panjang ini menghadang kita?

Memang sulit menggabungkan antara prosedur formal dan tingkat kepuasan. Ini sangat paradoksal karena seperti sisi mata uang yang tak saling ketemu.

Mungkin banyak dari manajer kepolisian yang melakukan langkah-langkah inovatif dilapangan dalam menyikapi fenomena Prosedur vs Pelayanan. Namun yang berbahaya adalah ketika inovasi kita membuat orang senang, maka mereka akan disebut sebagai orang yang inovatif, dan bila berdampak kepada permasalahan,, maka mereka akan menghadapi pelanggaran prosedural…

Sementara itu upaya kreativitas dan inovasi yang diupayakan seringkali terhambat oleh pagar mekanisme birokrasi yang begitu mengungkung. Pertanyaan yang kemudian harus dicarikan jawaban tentunya seringkali berkutat kepada berbagai hal yang akan menguras energi kedalam organisasi Polri sendiri, sehingga akibat langsung dari berbagai upaya perubahan yang dilakukan seringkali malah berdampak kepada menurunnya kinerja pelayanan.

Fenomena seperti itulah yang terlihat dikantor-kantor kepolisian, sehingga “kepuasan pelanggan”seringkali terabaikan. Berbagai upaya peningkatan pelayanan selalu dilakukan namun perbandingan percepatan peningkatan yang dilakukan oleh para manajer kepolisian seringkali sulit dibandingkan dengan tingkat percepatan permintaan akan rasa kepuasan masyarakat pelanggan yang dilayaninya. Kualitas pelayanan Polri sebenarnya meningkat cukup pesat sejalan dengan berbagai perubahan yang dilakukan. Namun apa yang telah dilakukan tersebut seolah-oleh menjadi sia-sia ketika kita membuka jendela organisasi Polri secara jujur untuk melihat bagaimana upaya yang dilakukan tersebut cukup dapat diterima oleh masyarakat.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah apakah strategi perubahan yang telah dilakukan oleh Polri selama ini belum dapat menjawab tantangan perubahan yang terjadi di masyarakat ataukah memang ada sesuatu yang belum dilaksanakan dalam upaya Polri meningkatkan kemampuan pelayanannya. Pertanyaan tersebut menjadi beban seluruh unsur kepolisian dari level atas sampai terbawah untuk menjawabnya. Namun beban terberat ada pada para manajer kepolisian untuk mewujudkan upaya terbaik dalam meningkatkan pelayanan.

Model pelaksanaan tugas kepolisian secara universal pada umumnya dibagi menurut pembagian kewilayahan dan pembagian kerja. Struktur pembagian yang sedemikian rupa secara efektif menghasilkan lokasi-lokasi pelayanan seperti provinsi dengan Poldanya, kota/ kabupaten dengan Polresnya serta kecamatan dengan Polseknya. Setiap satuan kewilayahan tersebut mempunyai lapis kemampuan yang berjenjang namun pada prinsipnya mereka melakukan pelayanan kepolisian yang sama yaitu dalam rangka melindungi masyarakat serta menegakkan hukum dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh Polri, tidak bisa dipungkiri pada hakekatnya merupakan sebuah rangkaian kegiatan pengelolaan jasa pelayanan yang dilakukan oleh negara. Polri adalah alat negara dalam melaksanakan tugasnya memberikan jasa dibidang keamanan kepada masyarakat warga negaranya seperti negara memberikan jasa-jasa lainnya dibidang pendidikan, kesejahteraan, pertahanan, kesehatan, dan sebagainya.

Sebagai pengelola pelayanan jasa dibidang keamanan, Polri dituntut untuk melakukan pekerjaannya secara professional dan prosedural layaknya pengelolaan usaha-usaha pelayanan lainnya. Selama ini kita terlena dengan kultur birokrasi dimana usaha pengelolaan negara merupakan sebuah monopoli, sehingga lambat laun terjadi degradasi kultur kemampuan pelayanan karena miskinnya persaingan dari kompetitor.

Upaya perubahan yang dilakukan oleh Polri dalam upayanyanya lebih professional merupakan sebuah tugas yang sangat kompleks. Namun pada prinsipnya berbagai upaya perubahan yang dilakukan setidaknya harus berorientasi kepada dua hal yaitu perubahan dalam pengelolaan manajemen kepolisian serta perubahan dalam pengelolaan keamanan sebagai sebuah produk jasa yang dihasilkan oleh Polri. Kedua hal tersebut diatas merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak terpisahkan satu sama lain. Institusi kepolisian dalam level manapun yang terkelola dengan baik tidak akan ada artinya manakala output produk yang dihasilkannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat pelanggannya. Begitu pula sebaliknya sebuah permasalahan keamanan tidak dapat tertangani dengan baik apabila sebuah institusi kepolisian yang terlibat didalamnya tidak terdukung dengan manajemen yang baik.

Dimasan depan kedua orientasi perubahan tersebut merupakan prioritas utama yang harus kita hadapi. Manajemen Kepolisian yang kita laksanakan harus sejak dini mengevaluasi tantangan perubahan eksternal yang terjadi untuk segera dilakukan berbagai penyesuaian sehingga tantangan permasalahan kepolisian yang semakin kompleks dan berkembang dapat dikelola secara optimal dalam rangka menghasilkan kualitas pelayanan terbaik kepada masyarakat pelanggannya.

Bandingkalah dengan fenomena yang terjadi saat ini di kota Aurora, Denver Colorado, Amerika.
Peristiwa tersebut berkaitan dengan penembakan terhadap 70 penonton dan menewaskan 12 orang pada pertunjukan perdana Film Batman "The Dark Knight Rises". Peristiwa penembakan terjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2012, dan ternyata,,, empat hari kemudian tanggal 23 Juli 2012,, sang pelaku "the Joker" James Holmes sudah duduk menjalani sidang perdana, pembacaan tuntutan,,, luar biasa..



Salam Hormat

No comments:

Post a Comment