Thursday, October 11, 2012

Kalijodo Potret Kemiskinan Kota


Kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri dan elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja.
Kawasan Kalijodo yang luasnya kurang lebih lima hektar merupakan kawasan padat penduduk. Kawasan ini merupakan bagian dari Rukun Warga (RW) 05, Kelurahan Pejagalan. Dari data di kepala RW, tercatat warga sebanyak 2000 kepala keluarga. Jumlah ini hanya di atas kertas, karena jumlah sesungguhnya bisa lebih dari 10 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya warga yang merupakan pendatang tidak terdata. Hal ini seperti dikatakan oleh Ketua RW 05, Kunarso. 

“Para pendatang itu datang begitu saja dan mendiami rumah-rumah penduduk yang merupakan sanak saudaranya, kerabat, atau sekedar teman. Kalau punya uang, tinggal di kos-kosan. Mereka ini tidak memiliki KTP Jakarta, kalaupun ada hanya KTP musiman. Bahkan jika mereka anggota preman, jika didekati ketua RT, mereka bisa lebih galak. Ndak ada urusan sama RT,” demikian mereka sering mengatakan.

Pendatang yang tak terdata, sebagian besar hidup di lapak-lapak atau rumah kos­-kosan yang dibangun di atas tanah di pinggir sungai, bahkan di atas badan sungai. Bangunan liar mereka dirikan atas dasar penguasaan lahan, dengan cara memasang patok. Untuk menghindari gangguan dari orang atau kelompok lain, mereka menempatkan beberapa preman yang siap menjaga. Jika mereka sudah memiliki modal, mereka akan membangun lapak atau tempat kos-kosan yang mereka sewakan kepada para buruh yang bekerja di pabrik sekitar Kalijodo. Bangunan yang mereka dirikan biasanya terbuat dari papan kayu atau triplek. Hal inilah yang membedakan para pendatang dengan warga, yang merupakan penduduk yang sudah turun-temurun hidup di kawasan Kalijodo.

Antropolog Universitas Indonesia, Parsudi Suparlan memberikan batasan yang jelas antara perkampungan kumuh dengan perkampungan liar. Perkampungan kumuh menurut Parsudi masih secara langsung atau tidak langsung berada di bawah pengendalian pejabat kelurahan. Sedangkan pemukiman liar pengendalian sosial dan keamanan dari kelurahan sama sekali tidak ada.

Pesatnya jumlah penduduk, rupanya tidak sebanding dengan ketersediaan sarana dan prasara umum. Seperti jaringan air minum, sanitasi, dll. Hal ini terutama disebabkan karena para pendatang itu datang dan mendiami tanah­-tanah yang tidak diperuntukan sebagai tempat tinggal. Mereka menempati lahan-lahan milik pemerintah yang merupakan jalur hijau, di sepanjang bantaran sungai.
Pemerintah pun sudah berulang kali melakukan pembokaran terhadap pemukiman liar di kawasan ini. Sepanjang tahun 2002 tercatat sudah beberapa kali Pemerintah Daerah DKI Jakarta, melakukan penggusuran atas kawasan ini. Penggusuran terbesar atas lapak­lapak judi dan tempat hiburan malam yang dibangun di atas bantaran-bantaran sungai, baik Sungai Banjir Kanal, maupun Kali Angke pernah terjadi pada 25 Januari 2002, setelah pertempuran hebat terjadi di kawasan itu.

Setiap kali terjadi penggusuran, perlawanan sengit dilakukan oleh warga penghuni perumahan liar. Perlawanan dilakukan oleh anggota geng, sampai ibu-ibu, mereka biasanya memblokade jalan masuk dengan perabotan rumah tangga seperti kursi, tangga dll. Namun, setelah perjudian dilarang, dan tidak beroperasi lagi, pembongkaran lapak-lapak liar, berlangsung damai. Hal ini seperti yang terjadi pada Maret 2003 lalu. Ketika itu, penggusuran yang menggunakan alat berat belco, berlangsung tanpa ada aksi penghadangan seperti yang terjadi sebelumnya. Padahal, seperti diberitakan berbagai media massa, aparat Tramtib Jakarta Utara, bahkan sempat mempersiapkan dukun-dukun yang didatangkan khusus dari Jawa Timur untuk menghalau para pengacau.

Penggusuran terhadap hunian liar, sebenarnya hanyalah upaya simtomatik. Karena warga pendatang yang tak memiliki tempat tinggal itu hanya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ketika Kalijodo digusur, mereka berpindah ke bawah jembatan layang menuju Bandara Soekarno Hatta. Penyebab utamanya adalah pertambahan jumlah penduduk itu, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi yang meningkat pesat sejalan dengan semakin lancarnya sarana transportasi. Bagi penduduk dari luar Pulau Jawa, daerah Penjaringan, menjadi tempat strategis, mengingat letaknya yang tak jauh dari Pelabuhan Tandjung Priok, tempat mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Adanya banyak faktor pencetus kedatangan penduduk dari desa-desa ke kota. Faktor utama, biasanya karena masalah ekonomi. Namun ada juga faktor lain seperti politik, keamanan, serta motifasi sosio-kultural lainnya. Apalagi, seperti pandangan umum di negara-negara sedang berkembang, kota merupakan pusat peradaban. Hal ini telah menjadi satu faktor kuat yang menarik orang-orang desa bermigrasi ke kota (urbanisasi).
Penelitian dari Hans Dieters Evers tentang urbanisasi di beberapa negara di Asia Tenggara, memberikan kesimpulan, bahwa perkembangan dan kemajuan ekonomi yang terpusat di ibu kota negara, telah memancing eksodus penduduk dari kota-kota kecil ke ibu kota.

Namun, kehadiran kaum pendatang itu terkadang tanpa mempertimbangkan akibat­-akibat yang disebabkan oleh menumpuknya or­ang-orang di kota dalam ruang tempat tinggal, sumber hidup dan nafkah yang sempit dan langka. Hal inilah yang pada akhirnya membuat hidup menjadi lebih sulit, dan kualitas maupun harkat manusia menurun.

Perbaikan hidup dari kelompok masyarakat miskin perkotaan, menjadi salah satu penyebabnya, karena tidak semua orang miskin itu merasa kecewa dan tidak puas. Orang miskin yang terbenam dalam perkampungan miskin di kota, banyak yang merasa puas hidup dalam lingkungan busuk itu.
Mereka merasa ngeri membayangkan bagaimana hidup di luar perkampungan miskin mereka. Bahkan orang miskin yang terhormat sekalipun, bila sudah lama jatuh miskin cenderung diam di tempat. Mereka terpukau oleh kekekalan tata kehidupan yang ada. Hanya malapetaka serbuan wabah, penyakit, atau bencana alam yang akan menyadarkan kehidupan mereka.

Hal inilah yang memunculkan apa yang disebut oleh Oscar Lewis tentang “kebudayaan kemiskinan.” Oscar Lewis adalah antropolog kenamaan Amerika yang banyak melakukan penelitian seputar kemiskinan di kota-kota di Amerika maupun di Amerika Latin. Hasil penelitiannya itu membuahkan pemikiran tentang the culture of povertyatau kebudayaan kemiskinan. Dalam bukunya The Children of Sanches dan La Vida, ia berkisah tentang kehidupan orang Puerto Rico, di New York dan di negerinya.

Menurut Lewis, kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri dan elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja. Jadi “kebudayaan” itu adalah self generating (bergerak dengan sendirinya). Lewis mengemukakan bahwa kebudayaan kemiskinan itu (culture of poverty) mempunyai ciri-ciri:
Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah, Tingkat pendidikan yang rendah, Partisipasi yang rendah dalam organisasi seperti buruh, partai politik, dll. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota, seperti toko-toko, museum, atau bank. Upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah. Tingkat keterampilan kerja yang rendah. Tidak memiliki tabungan atau kredit. Tidak memiliki persediaan makanan di rumah untuk hari esok. Kehidupan mereka tanpa kerahasian pribadi (privacy). Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak. Keluarga bertumpu pada ibu. Kehidupan keluarga otoriter. Bergantung pada nasib atau fatalisme. Besarnya hipermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan wanita.

Apa yang dikatakan Lewis memang terjadi di pelbagai kawasan miskin perkotaan. Di daerah kumuh di Kecamatan Penjaringan, kekerasan terhadap wanita dan anak-anak merupakan kasus yang menonjol. Hal yang kasat mata, adalah eksploitasi anak-anak, bahkan bayi, oleh orang tua mereka di perempatan­perempatan jalan dan bawah-bawah jembatan layang, anak-anak dipaksa menjadi pengemis. Ini memang tidak monopoli Penjaringan, tetapi juga ada di sebagian tempat di Jakarta. Kelompok anak inilah yang sering menjadi objek kekerasan. 

Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan juga menonjol. Kasus kekerasan yang paling dramatis dalam tiga tahun terakhir dialami Sri (bukan nama sebenarnya), pada Juni 2002. Ia dianiaya oleh suaminya yang jengkel, melihat isterinya kembali menjadi pelacur di sebuah bar di kawasan Kalijodo. Sang isteri sendiri berdalih, kembali menekuni profesi lamanya, lantaran si suami yang pedagang pakaian di kapal-kapal yang merapat di pelabuhan Sunda Kelapa, tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi ibu muda ini juga harus menanggung kehidupan keluarganya di kampung. 

Si Suami, Parno (bukan nama sebenarnya), yang mendapati isterinya di tempat pelacuran kalap. Ia mengamuk di sebuah bar tempat biasa Sri mangkal. Akibatnya, tidak hanya Sri, tapi dua teman wanita lain juga ikut terluka oleh amukan Parno. Lelaki yang hanya tamatan SD ini mengaku tidak sadar menikam isterinya sendiri dan lantaran mabuk setelah menenggak empat botol anggur cap Rajawali. Akibatnya, Sri dan Dewi terpaksa harus dibawa ke rumah sakit, setelah menderita beberapa luka, akibat tikaman senjata tajam.

Menurut Parno, tindakannya itu dilakukan lantaran amarahnya memuncak. Ketika menikahi Sri, pada tahun 1997, isterinya pernah berjanji, tak akan melanjutkan profesi lamanya sebagai wanita penghibur di kompleks pelacuran dan perjudian Kalijodo. “Waktu akan menikah, ia berjanji tidak akan menjadi pelacur lagi. Tetapi, kenyataannya ia masih selingkuh dan empat kali saya memergokinya praktik lagi,” tutur Parno, yang lulusan sekolah dasar. “Yang tiga kali lalu saya maafkan.”

Kisah Parno dan Sri, adalah salah satu persoalan dari sekian kompleksitas masalah masyarakat urban di perkotaan. Kehadiran para pendatang yang tidak disertai pendidikan yang memadai. Dengan tingkat pendidikan minimal, semakin rendah pula keterampilan dan pengetahuan seseorang. Akibatnya, kecil juga kompetensi seseorang untuk dapat diserap dalam sektor-sektor kerja formal. Tiadanya keterampilan yang mendukung untuk bisa diterima bekerja, sementara kebutuhan hidup di kota yang terus mendesak, membuat pikiran orang seperti Sri, tidak memiliki pilihan selain menjual tubuhnya sebagai pekerja seks komersial. 

No comments:

Post a Comment