Thursday, October 11, 2012

Kisah Si Bedu; Dilema Idealisme vs Realitas


Suatu malam,
Malam semakin lelap. Penduduk kota juga sebagian terlelap. Lalulintas pantura malah sebaliknya. Gajah-gajah sudah keluar. Istilah gajah-gajah dilontarkan oleh polisi-polisi di Tegal untuk menggambarkan betapa besarnya kendaraan yang lewat. Bus-bus malam semakin ramai pada malam hari karena Jalur menuju Jakarta maupun Surabaya memang tepat melintas malam sehingga tiba dikota tujuan pada pagi hari.

Sebagian anggota sedang melaksanakan patroli menuju kearah timur. Jalur ke timur adalah jalur utama menuju Semarang. Di dekat perbatasan kota Tegal dan Kabupaten Slawi terdapat daerah yang orang namakan ”Maribaya”. Awalnya Bedu mengira itu seperti daerah Maribaya di Lembang Bandung. Nyatanya itu merupakan daerah dipinggir pantai dengan rumah-rumah kumuh tempat berkumpulnya penjaja cinta.

Pernah satu kali Bedu berpatroli kesana. Ranito sengaja mengajaknya masuk ke ”perkampungan” tersebut. Hari itu adalah hari kedua dia bekerja malam. Maribaya, sebuah lingkungan gelap yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Pengunjung harus memarkir kendaraannya di tempat parkir dan turun melalui jalan kecil yang becek. Suara cekakak cekikik perempuan malam begitu terasa diselingi deru bus dijalan raya. Gelak tawa laki-laki hidung belang begitu lepas seoalah tiada hari esok.
Peristiwa tersebut begitu asing ditelinga Bedu. Kegamangan menyelimuti seakan anak kuliah baru sedang di ”mapras”. Ranito berjalan didepan layaknya seorang jagoan kampung itu. Hebatnya semua orang yang berpapasan dengannya selalu menganggukan kepala meskipun Ranito tidak pernah melepaskan jaket bututnya dari badan.

Sebagai polisi Bedu  sadar betul daerah seperti inilah yang dinamakan dengan police hazard.

Sikap waspada dengan mata penuh perhatian tak pernah lepas dari gerakannya. Berbeda dengan Bedu, Ranito begitu percaya diri memasuki daerah itu seolah itu adalah wilayahnya.

Dirumah ketiga, Ranito berhenti dan menoleh ke Bedu.
”Kita mampir sini ndan”.
”Mampir? Boleh. Tempat siapa ini?”
”Tempat kawan ndan”.
Ranito membuka pintu yang setengah terbuka dan memasukinya layaknya pemilik rumah itu.

Didalam rumah; sebidang ruang tamu denga seperangkat sofa dan beberapa kamar tertutup. Beberapa wanita duduk mengenakan pakaian seronok dengan kaki disilangkan sambil menonton tv.

”Malam Pak Ranito”
suara perempuan genit terdengar dari balik pintu. Perempuan paruh baya berumur empat puluh limaan dengan dandanan menor.
”Malam..malam saya mau mampir sebentar” sahut Ranito.
”Boleh Pak Ranito, lama juga boleh” si menor menggoda.

Ranito mengambil kursi reyot sambil menyilahkan Bedu duduk. Bedu ragu-ragu antara duduk atau keluar lagi melihat situasi didalam.
Matanya menerawang memperhatikan situasi dirumah tersebut. Didalam otaknya yakin betul kalau itu adalah rumah bordil.

”Mau minum apa pak?” suara si menor manja..
”Biasanya aja” kata Ranito.
”Minum...!! yang biasa buat komandan Ranito” teriak si menor ke dalam.
”komandan Ranito????” pikir si Bedu. Ranito mahfum dengan keheranan Bedu.
”Biasa ndan mereka panggil saya begitu”.
”Iya” guman Bedu.

Tiba-tiba sebuah kamar terbuka dan keluarlah seorang laki-laki sambil merapihkan rambutnya. Bedu memandang peristiwa tersebut dengan bengong. Si laki-laki melenggang kangkung menuju pintu. Si menor mengejar
”Jangan bosen ya pak, gimana??? Puas?? Balik maning ya pak..”
”Iya..Iya” ujarnya tergesa-gesa.
Tak lama kemudian muncul perempuan paruh baya dari kamar yang sama seperti baru merapikan pakaian.Mukanya seperti baru berbedak dengan gincu yang baru dipasang.
”Mas makasih ya” ujarnya sambil mengejar kearah pintu. Silaki-laki terlihat tersenyum sambil menoleh.

Minuman keluar. Satu krat penuh bir dengan botol-botol besar.
”Buat siapa ni???” Bedu bertanya.
”Kita ndan” Ranito menjawab sambil mulutnya terselip sebatang gudang garam coklat dan tangannya mengambil botol. Diambilnya bukaan botol dan ”Krack...” botol terbuka memuntahkan buih. Tanpa basa basi Ranito menuangkan isi botol ke dalam gelas dan menyodorkan ke Bedu. Satu gelas lagi dan dituangkannya sisa Bir kegelas berikutnya.
”Aaaachhhh....” suara dahaga Ranito meminum bir tersebut.
”Diminum ndan” katanya sambil meminum lagi.
Bedu hanya memandang botol itu sambil berkata kepada si Menor
”Boleh meminta coca cola saja??”
”Coca cola buat komandan saya” Ranito malah menyahut.

Si menor buru-buru berjalan menuju dapur, mungkin mau mengambil coca cola. Tiba-tiba si paruh baya kembali dari luar dan menghampiri Bedu. Dipandangnya Bedu keheranan..
”Pak Ranito, temennya ganteng banget, saya mau sama dia gak usah bayar”
”Hahahahaha, Ini komandan saya jangan macam-macam” Gelak Ranito
”Komandannya ganteng, kok yang kemaren-kemaren tua. Ini masih muda, pasti anak buah”
Bedu, tersinggung, jijik, jorok, harga dirinya merasa direndahkan. Langsung dia berdiri dan menarik Ranito keluar.
”Keluar kamu ikut saya!”
Ranito tidak sadar kalau Bedu sedang marah. Dengan entengnya dia menyahut untuk tetap tinggal sambil meminum bir. Sudah setengah mabuk rupanya. Bedu memegang jaket Ranito lalu menyeret polisi kurus itu keluar dan memasukkannya ke mobil.

Kunci kontak dinyalakan dan disetirnya sendiri kijang patroli ke arah Polres. Setibanya di Polres, dilihatnya Ranito sudah setengah mabuk dan ngedumel sendiri. Bedu membuka pintu kiri dan menyeret Ranito yang berjalan sempoyongan. Dibawanya Ranito ke WC penjagaan, tiba-tiba ”Byurrrr Byurrr Byurrr, tiga celupan kepala Ranito dimasukkan kedalam bak. Ranito terkaget dan klepak klepek mencoba untuk mengeluarkan kepala. Tapi kesadarannya terlalu lemah untuk melawan. Lunglai, sempoyongan, terkapar...

Hari itu selalu terngiang di benak seluruh anggota Bedu. Sang komandan berubah dari seorang ramah menjadi seorang yang sangat ditakuti.

Suatu Malam setelah itu, setelah sekian bulan bertugas di Tegal, Bedu masih berfikir kemana kira-kira arah anggota berpatroli pada waktu seperti ini. Tapi dia tahu betul, tidak akan ada lagi anggotanya yang berani mabok. Mereka tahu resiko yang akan dihadapi. Bedu hanya berharap semoga malam itu tidak ada kejahatan menggelayuti kota Tegal. Terlalu banyak peristiwa yang sudah dialaminya. Ingin rasanya dia mengambil libur sejenak.

Sejenak pulang ke Bandung. Kota dimana dia tumbuh dan dibesarkan. Kota dimana dia meraih segala pendidikan. Meskipun bukan kota dimana dia dilahirkan, namun terlalu indah kota itu dilupakan. Disanalah dia bertemu kekasihnya. Dia rindu dengan kekasihnya. Ingin sekali dia menceritakan segala kebanggaannya bekerja sebagai polisi. Polisi seperti yang diidamkan kekasihnya. Polisi yang tidak sekalipun berkeinginan melakukan kesalahan.

”Polisi seperti inikah yang harus aku kerjakan?” malam itu kembali Bedu bertanya dalam batinnya. Dia membayangkan andaikan teman-temannya saat ini yang sedang berdinas dan bekerja diseluruh Indonesia bukan seperti dia, apa yang mereka kerjakan?

Idealisme polisi sebagai sebuah profesi bertarung dengan realitas bahwa polisi juga sebuah pekerjaan. Pertarungan kehidupan yang dikungkungi dengan tingginya tuntutan orang-orang diluar sana. Masyarakat yang menjadi stake holdernya. Pertarungan kehidupan antara idealisme dan realisme...

Bedu hanya membuka dompet lusuhnya, uang sebelas ribu rupiah bercampur dengan kertas-kertas kumal catatan alamat. Masih beberapa hari lagi untuk mendapatkan jatah gaji bulanan. Pada akhirnya dia mulai terbiasa dengan istilah ”hutang” dikantin polres. Hal yang sama seperti dilakukan polisi-polisi di Polres. Merokokpun dia tidak berani, bukan karena tidak ingin tapi karena tidak mampu membeli.

Pertarungan idealisme dan realisme.... kapan akan berakhir?
Bersambung...

1 comment:

  1. Itu sebagian realita yang dilakukan oleh anggota kepolisian,yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat'kalau polisi itu minum,mabuk,minta jatah dll

    ReplyDelete