Monday, October 15, 2012

Konflik di Era Otonomi Daerah (Terkait dengan Kamtibmas)



Konflik adalah sebuah perbenturan dua atau lebih kekuatan yang dikarenakan sejumlah perbedaan kepentingan. Para ilmuwan sosial pun tidak satu bahasa dalam melihat konflik. Kuper & Kuper (2000), misalnya, memilih untuk memahami konflik sebagai suatu konflik sosial, dalam arti konteks konflik antar kelompok manusia – dan bukan antarin dividu manusia (Nugroho D., 2005: 90). Dalam pendekatan kepolisian, saya lebih senang menggunakan konsep konflik sebagai perluasan perebutan sumberdaya dalam aksi-aksi fisik (Suparlan 2000)

Pemahaman konflik sebagai perbedaan kepentingan lebih menarik apabila dipelajari dari kacamata politik, dimana yang terjadi adalah perebutan sumberdaya kekuasaan. Meski sebenarnya ’perebutan’ ini selalu dimulai dari permasalahan ekonomi yang didasari dari kenyataan akan adanya – apa yang disebut Weiner (1962) – sebagai ’politik kelangkaan’ (politics of scarity). Pemahaman ini didasari bahwa kehidupan manusia didasari oleh kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup, dan sebagaimana pemahaman teori Darwin, terjadi perebutan untuk menguasai sumber daya kehidupan yang langka (dan semakin meningkat kelangkaannya), dan pada ujungnya adalah survival for the fittest – hanya yang paling ’fit’ yang akan ’survive’.

Implementasi UU No. 22 Tahun 1999 yang efektif sejak 1 Januari 2001, telah membuka peluang yang dapat memunculkan potensi konflik horisontal (pusat-daerah) dan vertikal ( pemerintah daerah – masyarakat maupun antara warga masyarakat).  Namun, dari sekian banyak masalah yang memiliki potensi memicu api konflik, baik horisontal maupun vertikal, terdapat beberapa isu utama yakni : (1) Kewenangan (2) Pemekaran daerah, (3) Isu putra daerah (4) Pilkada (5) Isu ketimpangan pembagian pendapatan antara daerah dan pusat dan (6) Isu ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam di daerah.

Kewenangan
Kewenangan atau dalam UU No. 32 Tahun 2004 dikenal dengan istilah urusan, juga menjadi potensi konflik yang bersifat laten jika tidak segera ditangani. Potensi konflik itu berkenaan sejauhmana dipisahkan atau pemberian batasan yang tegas antara urusan dalam tingkatan pemerintahan di Negara Republik Indonesia ini. Antara urusan Pemerintahan Pusat, pemerintahan provinsi dan urusan kabupaten/kota.

Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah yang banyak dilakukan oleh Pemerintah terhadap daerah-daerah belakang ini, dilakukan karena adanya keyakinan daerah-daerah tersebut, bahwa dengan memekarkan diri dari daerah induk, maka mereka akan dapat lebih sejahtera dan dapat lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, intinya dengan memekarkan diri mereka ingin mewujudkan tujuan otonomi daerah yang selama ini mereka rasakan belum dapat dicapai oleh daerah induk. Padahal tidak selalu daerah yang telah memekarkan diri itu menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kinerja daerah induk, baru-baru ini Departemen Dalam Negeri sedang mempersiapkan Grand Strategy Pemekaran Daerah yang didahului oleh penelitian di beberapa daerah, untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang implementasi kebijakan pemekaran daerah selama ini.

Banyaknya permintaan pemekaran daerah yang tidak terkendali justru menimbulkan masalah baru bukan saja dari aspek politis namun secara nyata tuntutan tersebut justru akan memberatkan keuangan negara karena semakin banyaknya daerah-daerah baru yang harus disubsidi sampai ia bisa mandiri secara ekonomi.

Belum lagi ancaman terhadap kesatuan negara. Ancaman disintegrasi negara semakin terbuka lebar dengan semakin terbagi-baginya kelompok masyarakat dalam kotakan yang lebih kecil, maka nilai-nilai ’keakuan’ akan lebih ditonjolkan, dan ketika tuntutan untuk memperoleh perhatian yang lebih dari pemerintah pusat bagi daerah tidak dipenuhi, potensi disintegrasi pun dimunculkan dan mengancam kesatuan negara RI. Selain itu makin banyaknya daerah-daerah yang memekarkan diri akan menyulitkan segi efisien dan efektifitas tujuan otonomi daerah, karena pemerintah pusat akan lebih disibukkan untuk mengurus daerah-daerah baru, dan tidak berkonsentrasi pada masalah-masalah nasional lainnya yang lebih besar. 

Selain itu pemekaran daerah juga menimbulkan potensi konflik dalam hal penentuan batas wilayah dan penentuan ibukota daerah bentukan baru. Perlu lebih mendapat perhatian disini, apakah pemekaran daerah yang banyak dituntut oleh daerah selama ini telah memperhitungkan kemampuan dan daya dukung daerah secara nyata, yang dapat menjamin keberhasilan pembentukan daerah otonom baru hasil pemekaran. Di atas permukaan potensi konflik yang banyak terjadi dengan adanya pemekaran daerah adalah yang berkenaan dengan penetapan batas wilayah, kemudian tentang aset daerah baik sumber daya hayati, sosial, yang dimiliki oleh daerah itu maupun yang terkait dengan daerah-daerah disekelilingnya.

Isu Putra Daerah
Melalui penerapan otonomi daerah diharapkan tidak ada lagi cabang pemerintahan, lapisan pemerintahan, sekelompok orang, ataupun seseorang yang dapat memegang kekuasaan secara monolotik maupun hegemonik.
Dalam konteks otonomi daerah, terdapat dikotomi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.  Persoalan yang kemudian muncul malah menimbulkan fanatisme kedaerahan (yang sempit ).  Isu putra daerah dan bukan bukan putra daerah, yang sebelumnya bak api dalam sekam, kini mencuat ke permukaan dan mendapat pembenaran sehingga di pandang menjadi salah satu masalah paling krusial dalam implementasi otonomi daerah.

Terjadinya sikap resistensi di kalangan masyarakat asli terhadap masyarakat pendatang, atau dipandang sebagai perilaku menyimpang atau anomi menurut Teori Merton, “Merupakan hasil dari ketegangan-ketegangan tertentu dalam struktur sosial” (Johnson, 1986:154).  Ketegangan yang terjadi selama lebih dari 30 tahun pada Era Soeharto sebagai pemerintahan represif yang sentralistik, di pandang sebagai pemicu timbulnya disfungsionalisasi struktur sosial.  Masyarakat yang terganggu struktur sosialnya akhirnya mendapatkan katup pelepas ketika kebijakan otonomi daerah diberlakukan.  Maka munculah fenomena putra daerah dan bukan putra daerah,  sebagai perwujudan kristalisasi fanatisme kedaerahan yang sempit.

Pilkada
Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) yang baru dilaksanakan dalam dua tahun terakhir, memberikan warna tersendiri bagi pembangunan proses demokratisasi di Indonesia. Jika sebelum kita hanya memilih gambar partai dalam Pemilu bahkan tidak terlibat sama sekali dalam pemilihan kepala daerah dan wakilnya, kini kita dapat memberikan suara secara langsung kepala daerah yang diinginkan secara langsung.

Sebagai suatu hal yang baru saja dipraktekkan, tentunya Pilkada tidak lepas dari pro dan kontra, dari mulai adanya tuntutan untuk memisahkan undang-undang tentang Pilkada yang terpisah dari UU No. 32 Tahun 2004, maupun tuntutan untuk lebih menyemburkan sistem dan manajemen penyelenggaraan Pilkada.

Potensi konflik yang dimiliki dalam pilkada antar lain konfllik horisontal antar pendukung pasangan calon, kemudian konflik vertikal antara masyarakat pendukung pasangan calon dengan pemerintah daerah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu konflik tentang Pilkada juga menyangkut masalah figur calon yang akan bertarung di ajng tersebut dan mengenai partai politik sebagai kendaraan para calon.

Potensi konflik yang banyak ditemui sepanjang pelaksanaan Pilkada sepanjang tahun 2005 hingga 2006 adalah mengenai pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang meliputi latar belakang profesi, catatan karir politik maupun data pribadi lainnya yang sering menimbulkan dinamika pada saat pengajuan maupun pada saat kampanye. Selain itu adalah mengenai derajat penerimaan masyarakat terhadap hasil pilkada itu, apakah masyarakatkan sudah cukup dewasa di dalam menerima konsekuensi hasil pertarungan politik dalam koridor hukum tertentu?

Isu Ketimpangan Pembagian Pendapatan Daerah dan Pusat
Dari permukaan hingga perut bumi terkandung sumber daya alam mineral, minyak dan gas bumi.  Sejatinya kekayaan alam ini dijadikan modal dasar pembangunan daerah dan nasional.  Tapi kenyataannya bisa sangat bertolak belakang. 
Desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi keterpurukan bangsa, khususnya dalam mengatur pembagian pendapatan antara daerah dengan pusat.  Salah satu semangat otonomi daerah di sektor ekonomi adalah “memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah” (Panjaitan, 2000: 13).  Beberapa sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah berasal dari: (1) pendapatan asli daerah (PAD); (2) dana perimbangan; (3) pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari : (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Sementara itu dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari : (1) bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); (2) penerimaan dari sumber daya alam; (3) dana alokasi umum, dan (4) alokasi khusus.
Persoalan yang mencuat seputar pembiayaan pembagunan daerah otonomi adalah pola bagi hasil penerimaan antara negara (pusat)dan daerah.  Minyak bumi, gas bumi, pertambangan, dan sektor sumber daya hutan menjadi sedikit komoditas yang memberikan saham terbesar bagi penambahan devisa negara. 

Masalahnya pola bagi hasil antara pusat dan daerah untuk keempat komoditas tersebut seringkali menjadi sumber konflik vertikal.  Perimbangan penerimaan untuk pemerintah pusat dipandangan terlalu besar dengan mengecilkan asal daerah komoditas.  Meskipun untuk saat ini prosentase yang diberikan kepada daerah jauh lebih besar dibandingkan pada masa lalu, namun bagian itu masih lebih kecil atau belum signifikan terutama pada beberapa jenis sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas bumi yang masih didominasi oleh pusat. Disamping itu porsi yang disediakan untuk daerah masih harus dibagi antara provinsi dengan kabupaten/kota di daerah penghasil sumber daya alam tersebut.


Isu ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam di daerah
Masalah ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam di daerah saat ini juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah pusat dan daerah, mengingat banyaknya kasus eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak bijaksana, mengakibatkan terjadinya bencana alam diman-mana, sebut saja banyaknya kasus banjir di daerah-daerah yang sebelumnya tidak, menandakan pengelolaan lingkungan hayati yang ada saat ini sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan lingkungan dengan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada.

Kepemilikan terhadap sumber daya alam sering kali dijadikan komoditas politik suatu kelompok elit politik tertentu untuk mengangkat isu pentingnya dimekarkannya suatu daerah tertentu, belum lagi ketidakadilan pemanfaatan hasil sumber daya alam daerah-daerah kaya di masa lalu, sering dijadikan isu yang menarik untuk diangkat sebagai propaganda untuk melakukan tindakan makar dan tindakan separitsme lainnya.

Kekayaan daerah dalam hal sumber daya alam yang dimilikinya juga mengundang konflik vertikal antara pusat dan daerah di dalam pemanfaatannya maupun mekanisme bagi hasil yang dijalankannya. Sumber-sumber daya alam potensial seperti hutan, hasil minyak dan tambang lainnya, di masa lalu dan di masa yang akan datang tetap menjadi isu potensial berkenaan dengan keadilan pola bagi hasil antara pemerintah pusat dengan daerah.

No comments:

Post a Comment