Friday, October 19, 2012

MEMAHAMI KONFLIK SOSIAL







Ketika rezim Orde Baru mulai melemah kekuasaannya dan Negara (state) mulai kehilangan sebagian besar kontrolnya terhadap rakyat (society) maka pada periode pertengahan tahun 1997, konflik horizontal (konflik komunal atau kerusuhan sosial) telah terjadi di beberapa daerah yang sebelumnya terlihat “stabil”. Bahkan dewasa ini konflik berupa aksi kekerasan yang melibatkan dua kelompok atau lebih seolah-olah menjadi menu sehari-hari bagi pemberitaan media massa. Parahnya konflik tersebut juga seolah-olah merupakan sebuah cara yang saat ini dianggap efektif dalam rangka mencapai suatu tujuan dari kepentingan kelompok maupun individu.


Konflik berbentuk kekerasan ini hingga kini telah menjadi sumber kerisauan banyak kalangan, karena disamping “terasa lamban” diselesaikan oleh Negara, juga telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Beberapa aspek yang menjadi keprihatinan masyarakat antara lain semakin murahnya harga nyawa bagi orang lain serta semakin mudahnya masyarakat memuntahkan kemarahannya dalam bentuk aksi-aksi kekerasan kelompok.


Banyak sudah pihak yang mengadakan berbagai penelitian dalam rangka menganalisa fenomena konflik yang terjadi ini. Salah satu pandangan yang acap kali mengemuka adalah adanya pengaruh dari proses transisi dari otoriterisme orde baru menuju demokrasi sejak bergulirnya reformasi 1998 diduga sebagai salah satu variable perantara terjadinya konflik-konflik komunal. Diakui maupun tidak, fakta sejarah menunjukan bahwa terjadinya proses reformasi didahului, bersamaan dan diikuti dengan terjadinya proses kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Semua fakta sejarah tersebut direkam oleh pers dan disiarkan keseluruh penjuru tanah air bahkan mancanegara. Sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya rezim Soeharto dapat ditmubangkan akibat dari berbagai aksi tersebut.


Alih-alih proses transisi yang terjadi tersebut menjadi sebuah proses pendewasaan bangsa. Namun disisi lain juga sebagaimana teori belajar sosial dari Bandura, maka apa yang tersiarkan dalam berbagai media massa tersebut dapat dengan cepat ditangkap dan ditiru oleh berbagai lapisan masyarakat yang selama ini “termaginalkan” bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang dianggap dengan cepat dapat mencapai tujuan yang diharapkan.


Berangkat dari perkembangan fenomena yang ada tersebut, maka jelas terlihat bahwa peran Negara menjadi penting dalam rangka menciptakan rasa aman bagi rakyatnya. Bila fenomena kerusuhan dan kekerasan komunal ini tidak dengan cepat dapat diatasi, dihentikan bahkan bila perlu ditiadakan saat ini dan kedepan, maka dampak yang ditimbulkan akibat dari permasalahan ini dapat merugikan semual lapisan masyarakat dan Negara. Sebuah upaya dalam rangka menyelesaikan konflik menelan biaya yang luar biasa dan dapat menguras cadangan keuangan pemerintah. Belum lagi kerugian harta benda dan jiwa raga yang tidak terkirakan. Yang lebih besar lagi tentunya “cap” Negara yang tidak aman dapat berakibat pada lemahnya kepercayaan investor asing yang pada akhirnya dapat melemahkan berputarnya roda ekonomi makro maupun mikro bangsa kita.


Peran Negara dalam rangka mengatasi konflik tersebut berkait erat dengan peran Polri sebagai alat Negara yang bertugas dalam menegakkan hukum serta menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Untuk itulah maka menjadi penting bagi seluruh penyelenggara kepolisian agar memahami tentang berbagai fenomena konflik sosial terjadi serta memahami bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh kepolisian didalamnya. Upaya kita memahami permasalahan tersebut salah satunya adalah dengan memahami tentang berbagai ilmu pengetahuan yang melatar belakangi dan melingkupi sebuah fenomena konflik sosial.


PENGERTIAN KONFLIK SECARA SEDERHANA

Inti dari setiap konflik dimulai dari adanya perbedaan kepentingan. Satu pihak mau mencari keuntungan besar tanpa memperhitungkan hak orang lain, yang satu mau merdeka yang lain mau otonomi khusus, seorang bapak dalam keluarga menginginkan akan menggunakan uang untuk beli tv sedangkan ibunya menginginkan untuk pendidikan anak-anaknya, seorang anak menginginkan memilih jodohnya sendiri sedangkan orangtuanya menginginkan agar anaknya menyetuji pilihan mereka. Disini terlihat bahwa hampir semua orang memilikik kepentingannya masing-masing. Permasalahannya bahwa setiap kepentingan itu belum tentu sejalan dengan kepentingan orang lain, bila perbedaan kepentingan ini terinteraksi secara intens, maka dapat menimbulkan ketegangan dan pada akhirnya akan muncul konflik.

Perbedaaan kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan yang luar biasa kalau tidak ada suatu dasar kebersamaan yang membantu untuk mengatasi perbedaan itu. Seandainya bapak diatas terbuka untuk merundingkan kepentingan keluarga bersama istrinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka akan dapat menemukan jalan keluar; bagaimana menentukan prioritas pemakaian uang yang ada. Menjadi lain kalau sang bapak berpendapat bahwa dia adalah kepala keluarga yang dapat menentukan segalanya sedangkan istri dan anak-anaknya hanya mengikuti saja. Contoh lain bila dalam pemilihan kepala desa dimana kelompok masyarakat yang satu mengingnkan calonnya untuk jadi kepala desa sedangkan kelompok masyarakat yang lain menginginkan calon yang lain untuk jadi kepala desa, maka bila dua kepentingan ini tidak dapat diakomodir dalam sebuah mekanisme penyelesaian yang disepakati bersama, maka tidak menutup kemungkinan konflik kepentingan dan ketegangan akan muncul antara dua kelompok ini.

Dalam rangka memahami inti konflik itu, maka ada tiga pertanyaan mendasar yang kiranya dapat membantu untuk menemukan jalan untuk mengatasinya, yaitu:
1. Dimanakah letak perbedaan kepentingan yang ada?
2. Adakah suatu kesamaan nilai, suatu kesepahaman mengenai prioritas atau wajarnya kepentingan yang diperjuangkan?
3. Apakah kekuatan kesamaan nilai masih mampu mengalahkan perbedaan kepentingan, kedudukan, kekuasaan, kebiasaan yang melatar belakangi konflik? Atau pihak yang kuat (kuat fisik, uang, senjata, massa dll) akan selalu dimenangkan.

Selama dimuka bumi ini masih ada perbedaan kepentingan, maka selama itu pula potensi konflik masih ada dan berbagai bentuk konflik tetap akan terjadi. Problemnya adalah “Bagaimana kita semua mengetahui sebuah potensi konflik dapat berubah menjadi konflik dan selanjutnya dapat berkembang menjadi aksi-aksi kekerasan yang bersifat penghancuran?”

Untuk itu penting untuk dipahami bahwa sebuah aksi kekerasan dalam konflik pada dasarnya sudah didahului oleh adanya potensi dan kerawanan konflik itu sendiri. Apabila potensi dan kerawanan itu tidak dapat dikelola dengan baik dan ada pemicu yang muncul, maka percikan api tersebut bagaikan sebuah api ditengah jerami kering yang dapat membakar lumbungnya. Oleh karena itu besar sekali peranann kepolisian disini dalam rangka memahami berbagai potensi konflik yang ada serta memahami berbagai bentuk konflik dan bagaimana sampai konflik itu berakibat kepada aksi-aksi kekerasan yang bersifat saling menghancurkan.




No comments:

Post a Comment