Thursday, October 11, 2012

Memahami Penanganan Konflik dari Perspektif yang Lain: Disarmament Policy

http://www.youtube.com/watch?v=JRFUjYIptKc&feature=g-upl

Mengapa tak juga tuntas penyelesaian masalah di beberapa daerah pasca konflik Indonesia? Perkaranya karena terjadi kesalahan dalam penanganan keamanan, sejak dari cara berpikir hingga pilihan kebijakan. Kita-kita ini biasanya mengatakan situasi “aman dan terkendali”. Jika keadaan diduga akan meledak polisi dan tentara siap berjaga-jaga.

Sementara sebagian pejabat pemerintahan sipil mengatakan, daerahnya aman karena tidak ada lagi kerusuhan atau perang antar warga dengan korban mati. Jika masih ada bom sesekali, dianggap biasa. Citra aman seperti itu lalu jadi “kesepakatan” umum. Orang (khususnya di pusat kekuasaan di Jawa) baru kaget ketika daerah pasca konflik meledak lagi, seperti yang terjadi di kota wilayah Ambon Ambon dan Papua beberapa waktu yang lalu, dengan korban tewas puluhan orang. Karena itu, situasi aman yang dibayangkan hanya ilusi.

Keamanan (fisik) adalah suatu kondisi atau prasarat dasar untuk aktifitas pembangunan pasca konflik, seperti pembangunan ekonomi, sosial, politik. Jika keamanan tak terjamin, pegawai negeri tak bisa bekerja; pedagang dan investor tak berani datang; petani tak bisa ke ladang; nelayan tak bisa melaut. Produk rakyat tak terbeli, pengangguran tidak terdidik meningkat, api kekerasan mudah disulut lagi.

Keamanan karena itu harus dicapai. Sayangnyan ada salah pikir dalam soal mendapatkan rasa aman itu. Persoalan keamanan sudah jadi monopoli aparat pemerintah, militer dan polisi. Orang sipil berpikir, keamanan bukan tanggungjawabnya.

Secara teori ini jelas salah karena keamanan tidak hanya urusan tentara atau polisi. Dalam negara sebuah negara, urusan keamanan adalah urusan polisi, tapi, melepas sendiri polisi tanpa keterlibatan masyarakat yang lain, untuk bekerja menuntaskan persoalan keamanan di daerah pasca konflik, selain tidak bijak, juga tidak benar. Anggota masyarakat mestilah dilibatkan karena mereka punya sumber daya dan keahlian.

Dalam banyak hal, di beberapa daerah pasca konflik kita-kita dianggap tak punya strategi yang jelas untuk menangani keamanan. Pertanyaannya apakah kita punya indikator yang bisa digunakan untuk mengatakan bahwa situasi pasca konflik itu aman…????

Kita sebagai pimpinan kewilayahan termasuk rekan-rekan TNI selalu mengatakan: situasi aman. Indikasinya tak ada lagi orang bertempur. Tak ada lagi orang berkelahi. Tak ada bom dan tembakan. Kenyataannya, seperti rusuhnya lagi Ambon sebagai contoh; dengan pemicu yang kecil saja, masyarakat sudah siap untuk kembali berperang. Hanya dalam hitungan jam, mereka berkumpul dengan parang di tangan. Senapan rakitan dan organik, yang selama ini disembunyikan di kebon-kebun dan di rumah-rumah penduduk, siap ditembakkan lagi.

Keamanan memang rentan karena ada masalah yang tidak serius ditangani. Yaitu tidak dilakukannya demobilisasi dan pelucutan senjata (disarmament). Pemerintah juga tidak melakukan perencanaan keamanan jangka panjang menyangkut3 hal:
1. mengidentifikasi persoalan keamanan,
2. mengidentifikasi aktor atau pelaku yang berhubungan dengan sektor keamanan. Dan,
3. menyusun strategi bedasar 1 dan 2 itu.

Satu pesoalan utama keamanan di daerah pasca konflik adalah sulitnya mobilitas dari satu wilayah ke lain wilayah.

Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca memberikan sebuah kesimpulan bahwa persoalan utama sektor keamanan di daerah adalah tidak adanya disarmament policy (kebijakan pelucutan senjata) Ini jadi masalah karena begitu orang terpicu emosinya, mereka akan dengan mudah melakukan mobilisasi dan menggunakan senjata yang masih disimpan.

Pemerintah memang belum ada konsep untuk ini. Memang acapkali diperlihatkan adanya proses penyerahan senjata oleh masyarakat pada aparat, sebagaimana nampak di siaran TV. Tapi itu hanyalah sebagian kecil senjata, itupun hanya senjata tua, rusak, berkarat atau tidak terpakai lagi. Senjata yang masih bermanfaat dan bagus, masih disimpan untuk jaga-jaga.

Mungkin kita perlu belajar dari Negara2 lain (penulis bekerja di Markas Besar PBB dan beberapa misi PBB seperti Darfur Sudan dan Ex Jugoslavia mengikuti proses ini sebagai bagian pelaksanaan tugas). Dari contoh di beberapa Negara lain, kita belajar bahwa masyarakat sebetulnya besedia melakukan disarmament kalau pemerintah punya konsep. Pelucutan senjata pada dasarnya tidak hanya sekedar menyerahkan senjata, tapi terkait juga dengan persoalan ekonomi.

Di Colombia, pelaksaan disarmament di lapangan dilakukan sampai ke tahap yang demikian praktis. Misalnya, penyerahan 3 pucuk senjata diganti dengan 1 buah jeans. Celana jeans merupakan kebutuhan utama buat petani yang hidup di hutan-hutan Colombia. Di Wajir, Kenya, penduduk yang menyerahkan sejumlah senjata akan mendapat ganti seekor sapi. Sapi di Wajir merupakan kebutuhan pokok bertani, meladang maupun diambil susunya.  Di Indonesia, kebijakan seperti ini tidak dilakukan.

Mengapa pemerintah harus memberi kompensasi ekonomi atas penyerahan senjata itu. Karena senjata harus dibeli. Senjata rakitan sekalipun, untuk membuatnya dibutuhkan biaya untuk membeli pipa besi dan serbuk mesiu. Apalagi senjata organik yang harus dibeli dari militer, polisi, atau pedagang senjata sipil yang biasanya menuai untung dalam situasi kekerasan.

Di Ambon, milisi (pasukan siluman) Haruku, Ambon, harus menyelam ke dasar laut untuk mengambil sisa-sisa senjata peninggalan jaman Jepang. Jadi tidak gratis senjata itu.

Karena itu, harus ada policy yang jelas mengenai pelucutan senjata, tidak hanya membuat senjata yang ada di tangan penduduk bisa ditarik, tapi juga bisa menciptakan ekonomi penduduk meningkat dengan adanya sapi, perahu ketinting, bibit, dan faktor produksi lainnya.

Berkaitan dengan upaya demobilisasi pasukan perang yang dibentuk masyarakat, kita juga harus paham siapa sesungguhnya mereka. Hampir semua pasukan perang baik Laskar Jihad maupun Laskar Kristus adalah adalah anak muda umur 15-25 tahun. Mereka adalah kelompok umur yang boleh dikatakan tak memiliki “resiko” apapun untuk bergabung menjadi milisi selain resiko untuk diri sendiri. Mereka tak takut mati. Dan, tak ada tanggungan keluarga dan tak ada harta hilang yang perlu dirisaukan. Kalau dilakukan mobilisasi, apa kompensasinya buat kelompok usia seperti itu?

Berangkat dari pengalaman di Wajir, Kenya, para mantan milisi yang dimobilisasi direkrut sebagai pasukan keamanan yang bertanggungjawab terhadap keamanan desa mereka di bawah koordinasi pemerintah desa. Wajir adalah sebuah desa sumber air yang jadi rebutan antar suku sejak lama. Dari perang antar suku, kemudian merembes ke perang agama dan sebaliknya. Dengan mobilisasi, para mantan milisi itu, tetap Nampak gagah dan merasa diperlukan. Mantan milisi seusia itu, selain memiliki persoalan ekonomi juga punya persoalan identitas yang harus dipikirkan.

Pada awalnya, bisa diserahkan untuk dididik polisi, tapi kemudian diserahkan ke desa. Mereka sebaiknya digaji, meskipun sedikit, tapi gaji juga menunjukkan ada penghargaan, pengakuan atas status, dan itu penting secara psikologis. Menempatkan mereka sebagai penjaga keamanan desa masing-masing dengan dukungan gaji atau honor dari pemerintah, akan lebih murah dibandingkan harus menempatkan pasukan brimob atau tentara. Sementara citra bahwa suatu daerah sudah aman, tercapai.

Tentu ada pelajaran lokal, misalnya dari Wayame, sebuah desa di pulau Ambon. Sampai sekarang desa ini masih dihuni oleh dua komunitas. Memang ada faktor geopolitik yang mendukung keamanan desa. Wayamo terletak persis di sebelah kompi AD, dan dekat dengan instalasi Pertamina. Keamanan kuat. Tapi, di luar itu desa ini juga membangun mekanisme sendiri agar tetap aman dan mix dengan memberdayakan tokoh islam dan kristen. Raja (kepala desa adat) Wayame menyerahkan otoritas keamanan desa selama masa konflik pada tim 20 yang terdiri dari tokoh-tokoh agama (Islam dan Kristen) tokoh pemuda, juga tokoh intelektual. Yang tinggal di desa Wayame, rata-rata memang orang terdidik, dari pegawai negari sampai para dosen universitas, serta kelas menengah lain.

Beberapa contoh peraturan, sangsi dan penegakan peraturan bisa disebutkan di sini. Tim 20 inilah yang melakukan klarifikasi kalau ada rumor akan terjadi penyerangan terhadap desa Wayame dari keluarga tertentu. Menghukum pemuda mabuk dan mengatur serta terlibat langsung ronda kampung setiap malam. Pemuda mabuk adalah salah satu sebab konflik. Tim 20 Wayame memutuskan, jika yang mabuk kristen, yang menghukum pendeta, jika yang mabuk Islam yang menghukum imamnya. Jika Wayame akan diserang kelompok kristen, maka yang maju pasang badan pendeta. Jika yang akan menyerbu kelompok Islam, yang pasang badan sang imam. Dan kalau ada orang desa Wayame ikut menyerang desa lain dia akan kena sangsi. Kalau dia mati maka dia tidak berhak dikubur di desanya. Mati tak terkubur di desa asal adalah sebuah aib buat orang Ambon.

Dengan demikian maka Wayame sempat jadi contoh menarik bagaimana dalam situasi konflik, di desa ini tetap memiliki pasar dimana orang Islam dan Kristen bebas berjual beli hasil pertaian, dan hasil laut. Kekuatan wayame adalah adanya mekanisme, institusi, juga sangsi. Adanya mekanisme, institusi dan juga sangsi yang bisa dipegang adalah pelajaran penting dari Wayame.

Dari pengalaman di Wajir, Kenya, mantan milisi yang sudah dilatih sebagai petugas perdamaian, akan lebih mudah meyakinkan ibu-ibu, yang juga terlibat sebagai pendukung perang atas alasan balas dendam. Mereka juga lebih bisa meyakinkan pemuda, dan orang-orang yang lain, termasuk anak-anak dari desanya untuk meletakkan senjata dan menghentikan perang. Para pemuda itulah yang nantinya akan memfasilitasi dialog-dialog internal dan ekternal dengan proses yang lebih nampak natural.

Jika saja usulan ini dilaksanakan, salah satu yang harus diwaspadi adalah korupsi. Misalnya, jika dana pelucutan senjata mobilisasi dikorupsi. Korupsi dana kompensasi untuk pelucutan senjata dan mobilisasi, pasti akan menjadi sumber konflik baru. Karena itu mungkin pemberian kompensasi dipikirkan kecocokannya, apakah berupa uang atau natura (sapi, perahu, bibit tanaman dll). Selain itu, jika aparat pemerintah belum efektif sebagai imbas konflik, bisa dipertimbangkan untuk bekerjasama dengan LSM atau lembaga-lembaga internasional yang bekerja di wilayah konflik.

No comments:

Post a Comment