Saturday, October 13, 2012

MENGELOLA ISU SENSITIF DI MEDIA MASSA SEBAGAI BAGIAN DARI PENGELOLAAN RELASI PUBLIK POLRI


Dinamika yang cepat dalam relasi media massa dengan Polri sangat terasa dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Ada sebuah masa dimana Polri dan Media Massa mengalami periode harmonis atau bisa disebut masa “bulan madu” antara mereka. Ini terkait dengan keberhasilan operasi Detasemen Khusus 88 Mabes Polri dalam membongkar jaringan teroris Dr Azhari, Noordin M Top, hingga aksi penggerebekan di Solo, yang menewaskan gembong teroris yang paling dicari selama bertahun-tahun oleh polisi termasuk keberhasilan mengungkap jaringan perampok Medan dan berbagai pengungkapan keberhasilan lainnya. Hal ini berdampak kepada keberhasilan Polri mengungkap jaringan teroris besar yang telah memporak porandakan Indonesia sejak mulai dari Pemboman BEJ (2000), Duta Besar Filipina di Jakarta, Rangkaian Bom Gereja, Bom Bali, Bom Marriot dan berbagai kasus terorisme lainnya.

Namun demikian, sejak beberapa minggu terakhir, opini publik lewat pemberitaan media massa, agak kurang berpihak kepada Polri. Opini publik yang menyebut adanya dugaan beberapa pelanggaran yang dilakukakan oleh Polri dalam menangani berbagai permasalahan di tanah air semakin menemukan momentumnya ketika, beberapa permasalahan diangkat oleh beberapa kalangan ke media massa. Opini berkait dengan konflik agraria di Mesuji, Kasus pencurian sandal jepit milik anggota Polri oleh anak dibawah umur di Palu, Tindakan Polri dalam menangani unjuk rasa yan berkepanjangan hingga para demonstran menduduki pelabuhan di Bima dan berbagai fenomena lainnya ditanah air seakan silih berganti disajikan oleh media massa sebagai sebuah hidangan yang layak untuk disantap oleh pemirsa dalam berbagai menu kehidupan. Puncaknya adalah opini terkait penanganan kasus simulator dan silang pendapat mengenai penanganannya termasuk upaya penegakkan hukum terhadap salah satu penyidik KPK yang berakhir pada turun tangannya Presiden menengahi permasalahan tersebut.

Bagi sebagian besar anggota Polri, kondisi ini tentunya memunculkan rasa kegamangan akan berbagai daya upaya yang mereka lakukan selama ini rasanya menjadi sia-sia. Keikhlasan mereka meninggalkan keluarga untuk menciptakan rasa aman pada musim mudik lebaran, terciptanya kondisi aman pada perayaan natal dan tahun baru, terjaganya kondisi kamtibmas yang mantap diberbagai wilayah, keikhlasan mereka meninggalkan keluarga siang dan malam, berpanas dan hujan mengatur ketertiban lalu lintas ditengah-tengah ketidaktertiban masyarakat, amannya berbagai pilkada dan berbagai konflik yang bisa diselesaikan dengan damai diberbagai wilayah, dan berbagai upaya lainnya seakan-akan tidak ada artinya tergerus oleh berbagai ”pemberitaan miring” yang berdampak luas bagi penciptaan opini negatif Polri.

Kondisi inilah yang membuat pencitraan Polri menurun. Opini publik terus tergiring oleh peliputan-peliputan media massa baik televisi dan media elektronik, serta media cetak, yang banyak menyajikan opini-opini dari kelompok-kelompok pressure group yang terus menyudutkan posisi Polri dan para pimpinannya.

Situasi ini tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan, mengapa pencitraan Polri dalam waktu yang relatif singkat dapat berbalik 180 derajat? Apa saja latar belakang permasalahan yang membuat image atau pencitraan Polri dengan cepat bisa berbalik. Berikut ulasan saya yang jauh disini mencoba untuk merangkai analisa dalam tiga substansi dengan menggunakan pendekatan ”Management Public Relation” sehingga sehingga anatomi masalah bisa diurai lebih jelas dan terukur dalam kacamata yang lain (bukan hanya kacamata internal Kepolisian).

Peran Media Sebagai Pemenuh Kebutuhan Informasi Masyarakat
Perkembangan masyarakat modern, seperti sekarang ini telah menciptakan relasi ketergantungan antara masyarakat dengan media. Hal ini pula yang menyebabkan perkembangan media massa begitu tinggi..
Dewan Pers mencatat dari sekitar 400-an media cetak yang ada sebelum reformasi, berkembang pesat menjadi hampir 6000 media cetak di seluruh Indonesia. 

Perkembangan ini tentu saja dilatarbelakangi oleh semakin mudahnya aturan perizinan bagi penerbitan pers, sebagai salah satu tuntutan reformasi. Belum lagi fenomena Televisi dan radio serta internet yang dapat menyajikan situasi terkini dari lapangan baik secara visual maupun online. Tumbuhnya jejaring sosial sebagai sarana baru berkomunikasi menjadi tren setter tersendiri dikalangan madani yang dapat menjadi arah kendali pemberitaan pada media massa lainnya. Hal ini terbukti dengan bergeloranya berbagai aktivitas publik dilapangan yang dikendalikan dari berbagai media sosial. Di era Orde Baru, penerbitan pers dibatasi oleh aturan harus adanya Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Penerbitan SIUPP ini di era itu dikontrol ketat oleh Departemen Penerangan. Kini aturan pembatasan itu tiada lagi.

Selain persoalan mudahnya izin penerbitan pers, lantas apa saja yang menjadi alasan perkembangan media menjadi sedemikian pesatnya. Riset yang dilakukan oleh Paul Lazarfeld pada tahun 1940-an, menemukan alasan mengapa orang membaca surat kabar. Hasil temuan itu menyebutkan bahwa para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membaca surat kabar mereka selain mendapatkan informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagi informasi dan rutinitas keseharian. (McQuail: 2002:387). Bila kita kaitkan dengan kondisi saat ini dikalangan menengah keatas, maka saat ini sudah menjadi kewajaran diantara mereka membaca berita, baik melalui surat kabar, tv, radio maupun internet setiap hari. Hal ini menjadikan sebuah pembuktian baru bagi kita bahwa diatara kita memang ada rasa ingin berbagi maupun mendapatkan informasi dalam rutinitas keseharian kita.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan informasi yang disampaikan oleh media massa, telah menjadi kebutuhan tersendiri, bagi masyarakat dewasa ini. Kebutuhan akan informasi, khususnya di masyarakat perkotaan, sudah seperti kebutuhan pokok. Kebutuhan akan informasi sudah sejajar dengan kebutuhan pada makan, pakaian, dan perumahan.

Peran Media Sebagai Kekuatan Pembentuk Opini Publik
Dalam situasi sosial seperti yang berkembang dewasa ini, media telah menjadi kekuatan tersendiri dalam perubahan sosial. Media mampu membentuk, memberi fokus dan mempercepat opini publik. Sehingga ada dictum yang mengatakan media menciptakan, tetapi juga menghancurkan citra.
Dictum menciptakan citra positif dan penghancuran citra inilah yang sekarang ini sedang terjadi dan dirasakan oleh Polri, seperti yang telah diuraikan di dalam latar belakang di atas. Di satu sisi Polri menemukan citranya yang sangat positif dalam pengungkapan jaringan terorisme di sisi lain, posisi Polri tersudutkan oleh pemberitaan media massa seputar berbagai penanganan permasalahan yang ada diberbagai daerah sebagaimana saya utarakan diatas.

Dalam kasus terakhir, opini publik yang disampaikan oleh para pihak yang bersengketa, para pihak yang dirugikan, para pihak yang menjadi korban, para pihak yang berkepentingan, para pihak yang ingin didengar dan berbagai pihak lainnya yang perduli dengan Polri telah menempatkan posisi Polri, dalam satu barisan kelompok yang dituding perlu segera dilakukan perbaikan dan bila perlu kewenangannya dikecilkan dan bahkan ada wacana yang memunculkan menyangkut reposisi Polri dalam sistem Tata Negara. Saat ini ada yang mencurigai bahwa situasi ini tidak terbangun seketika. Ada pra kondisi yang dicurigai dimunculkan berkaitan dengan kondisi politik saat ini.

Berbagai fenomena penanganan Polri di berbagai wilayah sejujurnya memang perlu ditingkatkan. Namun layaknya dalam sebuah kosep manajemen, Pembangunan Kapasitas terhadap institusi Polri adalah hal yang mendasar (Capacity Building), dan bukannya mendramatisir permasalahan penegakan hukum, pengayoman, perlindungan, pelayanan, pembinaan kamtibmas dan berbagai masalah tekhnis dilapangan yang digiring kepada permasalahan politis.

Di sinilah media massa memiliki peranannya yang besar dalam membangun dan mempengaruhi opini publik. Hal ini seperti dikatakan oleh ahli komunikasi Jean Baudrillard, pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara realitas, representasi, simulasi, dan hipperrealitas.

Lebih lanjut Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981:17): pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas. Kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, kemudian citra berakting pada penampakkannya. Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun. Ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya.

Kategori-kategori yang disampaikan oleh Baudrillard, inilah yang bisa membedah situasi pencitraan Polri hari-hari ini. Opini publik telah terbangun sehingga publik tidak mampu lagi secara jernih membedakan realitas, representasi, simulasi dan hipperealitas.

Peter D. Moss (1999), menyebutkan bagaimana wacana media massa, termasuk berita surat kabar (dan tentunya berbagai media lainnya) merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, ”berita” pada berbagai media massa menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, media massa menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto, analisis Framing: X).

Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

Peran Media Sebagai Pembentukan Citra Polri Dalam Isu Yang Berkembang Dewasa Ini
Peran media massa sebagai mesin pencipta bahwa Polri banyak melakukan kesalahan terutama dalam penanganan permasalahan yang menyangkut orang kecil memunculkan metafora si Penguasa dan si tertindas. Metafora ini telah menempatkan opini publik terhadap adanya praktek ketidakadilan. Si besar dan kuat hendak melemahkan si kecil yang tidak berdaya.

Dalam situasi inilah realitas yang terjadi telah sampai pada titik hiperealitas, bahwa ada kekuasaan besar yang hendak mengenyahkan si kecil yang lemah. Apalagi struktur dan logika publik sudah terbangun dalam usaha pemberantasan korupsi, koruptor hampir selalu menang. Karena kekuatannya mampu membayar pengacara mahal, sehingga pada akhirnya hukumannya ringan. Ini terbanding terbalik dengan realitas di kalangan masyarakat kecil, pencopet bisa saja terbunuh oleh aksi penghakiman massa, pencuri sandal mendapat hukuman tinggi bisa dihukum berat karena tidak memiliki pembela yang handal yang bayarannya mahal.

Kesadaran ini terbangun secara massif dan terbangun dalam kurun waktu yang lama seperti sudah menjadi ideologi yang memberikan gambaran yang salah atas realitas. Sejarah panjang, kolonialisme telah menempatkan polisi sebagai kekuatan yang menakutkan. Misalnya di masa kanak-kanak, kita sering ditakut-takuti “jangan rewel nanti ada polisi datang menangkap”. 

Kekuatan menakutkan ini memang layak untuk di kontrol melalui mekanisme apapun. Namun kesalahan dalam upaya mengontrol menjadikan gradasi kepercayaan diri anggota dilapangan menurun karena muncul kesan ”serba salah” dan berakibat pada upaya perlawanan dengan menggunakan berbagai cara seperti yang sifatnya menghancurkan baik kepada polisi sebagai institusi, anggota polisi, bagunan polisi, maupun penghancuran ”lambang-lambang kekuasaan” lainnya seperti rambu-rambu dan lain-lain, karena bagi mereka, hukum adalah kekuasaan.

Tentu saja situasi ini sudah berbeda dengan perubahan paradigma, polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, dan reformasi birokrasi Polri yang sedang berlangsung sejak era reformasi sampai hari ini. Profesionalisme Polri sebenarnya sudah menemukan bentuknya yang positif. Dibidang pengayoman, pola penanganan unjuk rasa yang sudah berbeda jauh dengan pola-pola jaman sebelum reformasi. Di bidang penegakkan hukum misalnya, metode scientific crime investigation dalam pemberantasan aksi terorisme dan kejahatan transnasional telah menempatkan citra Polri sejajar dengan kepolisian modern di dunia. 

Bahkan saat ini personil Polri yang ditempatkan dalam berbagai Misi Perdamaian PBB sudah sejajar dan dalam beberapa sisi lebih tinggi kemampuannya dari negara lain. Model pelayanan yang cepat dan tidak berbelit-belit di dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi, pengurusan Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKCK), pelayanan perpanjangan STNK dengan metode jemput bola dan transparan, telah mencitrakan polisi sebagai pelayan masyarakat. Image-image inilah yang pada hari-hari ini sepertinya sedang diuji oleh berbagai fenomena yang berkembang ditanah air.

Peran media sebagai pembentuk citra tidak bisa dipungkiri efektifitasnya. Membangun pencitraan yang efektif bukanlah hal yang mudah. Pertama dibutuhkan waktu yang relatif lama, bukan serba cepat atau instan. Ini berkaitan dengan soal waktu dan intensitas pesan yang hendak ditanamkan kepada masyarakat atau publik. Semakin lama dan semakin intens pesan dibangun, maka citra akan mudah terbangun.

Strategi pencitraan juga membutuhkan konsistensi dari semua komponen Polri dan semua tindakan yang akan dilakukan oleh jajaran Polri. Tentu saja ini tidak mengikat hanya pada pimpinan atau top level manajemen di Mabes Polri, tetapi juga dilakukan sampai tingkat pelaksana di lapangan. Konsistensi inilah yang seharusnya menjadi prioritas untuk secepatnya memulihkan kondisi dari berbagai bulan-bulanan yang terjadi saat ini.

Dalam managemen krisis, di mana ada kelompok-kelompok di luar Polri yang hendak mendiskreditkan Polri, dan upaya ini sudah berjalan efektif karena mendapatkan porsi peliputan media massa. Maka, diperlukan berbagai langkah semisal pseudo event atau event-event bayangan yang bisa dilakukan untuk meredam isu negatif. Pseudo event bisa dilakukan misalnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak terkait sama sekali dengan isu yang sedang dikembangkan kelompok penekan.

Karena event bayangan ini juga membutuhkan peliputan media massa, maka komunikasi yang baik dengan media tidak boleh terputus. Event bayangan bisa berupa kegiatan yang terkait dengan semua hal positif oleh Polri yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Hal ini bisa dilakukan tingkatan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) yang berhadapan langsung dengan masyarakat.
Perpolisian Masyarakat memberikan sebuah pola tindakan yang menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pembinaan kamtibmas. Dalam hal ini maka Polisi dapat menempatkan dirinya sebagai dinamisator, katalisator maupun stabilisator keamanan dalam rangka memantapkan kelangsungan pembangunan ditengah-tengah masyarakat.

Edukasi kesadaran hukum sejak dini adalah akar dari keberhasilan sebuah negara untuk menjadikan masyarakatnya untuk taat hukum. Kalau di analogikan dengan mengelola sepakbola disebuah negara yang semua pihak didalamnya sadar akan sportivitas, maka akan mudah menjadi wasit yang adil untuk memimpin pertandingan antara dua kesebelasan yang sama-sama sportif, penonton yang sportif, pengurus bola yang sportif dan lingkungan lainnya yang sadar. Mereka akan percaya manakala sang pengadil megatakan bahwa seorang pemain melakukan pelanggaran, karena memang wasitnya jujur, pemainnya pun tau bahwa dia offside (kalaupun dia merasa tidak off side, maka dia tidak akan melawan keputusan wasit), penonton pun menghormati wasit dan bila terjadi kesalahan dari wasit, maka akan ada peninjauan terhadap kinerja yang bersangkutan.

Di Indonesia, sangat sulit menjadi pengadil terhadap pertandingan yang sarat kepentingan, ditengah-tengah penonton fanatik yang tidak mau tau bahwa kalah menang itu adalah kewajaran, ditengah carut marut kepentingan pengurus bola dan PSSI dan berbagai kondisi ketidak nyamanan lainnya. Akibatnya apabila sang pengadil mengambil keputusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, bisa saja dia menjadi bulan-bulanan kekerasan dari para pemain, bahkan pengurus hingga penonton. Belum lagi para pengamat yang dengan mudahnya mengomentari jalannya pertandingan sementara dia sendiri belum tentu baik sebagai pemain bola apalagi sebagai wasit.

Dengan analogi diatas, akan sulit bagi Polri untuk menciptakan ketertiban manakala dia berada ditengah-tengah lingkungan yang tidak kondusif, masyarakat yang tidak sadar hukum, lingkungan yang saling tarik menarik kepentingan, bahkan mungkin polisi berbuat adil sekalipun tidak akan dipercaya dan akan berdampak kepada tuntutan agar polisi memenuhi keinginan mereka, apalagi bila polisi nya berbuat tidak adil. Untuk itu perlu sekali dalam ”Pseudo Event” ini Polri melakukan kerjasama dengan berbagai lintas sektoral untuk menjadikan ”Pendidikan Budaya Sadar Hukum” sebagai pendidikan utama di Sekolah. Contohlah berbagai negara yang maju dan tertib hukum di dunia ini, maka Kurikulum mereka di Sekolah selalu memasukkan Pelajararan Tertib Hukum sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolah dan menghadirkan Polisi sebagai guru-guru tamu di sekolah mereka.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Media dalam bentuk apapun, apakah itu media massa, jejaring media sosial, maupun media-media lainnya sangat berperan besar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu dan informasi masyarakat dewasa ini dan dimasa datang. Media sangat berperan besar dalam membentuk opini ditengah-tengah masyarakat. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa pola perilaku masyarakat salah satunya dapat dengan mudahnya ditularkan oleh media. Fenomena melawan polisi, fenomena kerusuhan disatu titik apabila tidak tertangani dengan benar, maka dengan mudahnya ditiru ditempat lain dan berbagai perilaku lainnya yang berkembang dari pembentukan opini tadi. Namun demikian bukan menjadi kesalahan media memberitakan ini, karena memang tugas mereka adalah dalam rangka mengangkat berbagai peristiwa yang terjadi ditengah-tengah kita. Tingkat edukasi masyarakat-lah yang akan menentukan daya serap mereka terhadap berbagai fenomena untuk selanjutnya menjadi pola pikir dan pola tindak mereka ditengah-tengah kehidupan yang semakin keras dewasa ini.

Bahwa hubungan baik dengan media massa harus tetap dijalin secara baik, mengingat peran sentral media sebagai sarana pembangun opini publik. Hubungan baik ini bisa dilakukan dengan mengajak media massa untuk memahami realitas yang dihadapai Polri terkait opini publik yang sudah terbangun yang melebihi realitas yang sebenarnya (hiperrealitas)

Pembentukan Citra Polri dalam isu yang berkembang dewasa ini bisa saja dialihkan melalui berbagai strategi pembentukan citra yang efektif dengan mengupayakan perbaikan terus menerus terhadap internal Polri dan hubungan eksternal dalam berbagai momen, bukan hanya terpaku pada kegiatan penegakkan hukum semata. Sebagai salah satu metode pseudo event, bisa dicarikan ahli-ahli yang mampu menjelaskan persoalan yang dihadapi oleh Polri yang yang lebih dapat memberikan gambaran dari sudut pandang Polri. 

Untuk itu Polri bisa mengajak intelektual dari unsur perguruan tinggi atau mantan perwira senior di kepolisian yang bisa menjadi analis kepolisian sebagai sumber-sumber di media massa, maupun talk show di berbagai televisi. Bisa pula kita mengkreasi sebuah kegiatan ”Community Development” dalam rangka memberdayakan masyarakat dilingkungan dimana Polisi bertugas.



No comments:

Post a Comment