Tuesday, October 23, 2012

Otonomi Daerah Dan Praktek Community Policing



Tantangan perubahan yang muncul akibat pengaruh perubahan pada lingkungan eksternal Kepolisian tentu terasa akan sangat besar. Apalagi apabila perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal itu merupakan perubahan yang mendasar, seperti perubahan dalam sistem kenegaraan kita. Sejak 1 Januari 2001, telah diberlakukan Sistem Otonomi Daerah yang telah mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik dengan memberikan beberapa kewenangan yang tadinya ditangani pemerintah pusat menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Perubahan tersebut menimbulkan dinamika sendiri dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, selain menimbulkan berkembangnya semangat kedaerahan pada warga masyarakatnya. Beberapa problematik yang muncul sebagai akibat dari sistem pemerintahan ini, adalah berkembangnya semangat kedaerahan dan hubungan antara Negara dan masyarakat pada tingkat lokal. Menguatnya perasaaan kedaerahan memang bisa berdampak positif maupun negatif. Dalam konteks kepolisian, menguatnya semangat kedaerahan ini bisa menjadi faktor pendukung maupun faktor kendala dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat.

Semangat kedaerahan yang positif bisa menjadi faktor penarik serta pendorong pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat, yaitu ingin menjadikan daerahnya sebagai daerah yang aman sehingga bisa menjadi daerah yang menarik bagi investasi, dengan mengadakan kemitraan yang erat antara Kepolisian dan masyarakat. Namun sebaliknya semangat negatif bisa menjadi kendala manakala Kepolisian tidak mampu mengkreativisir unsur lokal dalam pengelolaan permasalahan keamanan, atau bhakan menjadikan komunitas lokal sebagai penonton belaka, maka Kepolisian akan dianggap sebagai pihak asing dalam komunitas setempat. Berbagai contoh gagalnya KOD menekan angka kriminalitas serta konflik yang tinggi antara aparat dan masyarakat adalah fakta yang tidak bisa dihindari sebagai sebuah kekurangan yang harus segera diperbaiki.

KOD sebagai kepanjangan tangan pelayanan Kepolisian ditingkat lokal harus bisa menempatkan dirinya sebagai warga Negara, bukan sebagai Lembaga Negara yang bisa mengatasi masyarakat dengan berlindung dibalik kekuasaan pemerintah atau Negara. Kepolisian sebagai warga Negara harus bisa bersama-sama masyarakat mengembangkan daya kreatif tersebut. Ruang yang menjadi titik temu antara Kepolisian dan masyarakat untuk mengembangkan kreativitas dan memajukan daerah itu, satu diantaranya adalah community policing. Dalam Community Policing akan bertemu apa yang diharapkan masyarakat dan apa yang diharapkan oleh Kepolisian.

Namun dalam perkembangannya penerapan community policing dalam kegiatan kepolisian mengalami banyak hambatan, terutama timbul dari internal lembaga Polisi sendiri yang masih belum bulat hati menerapkannya atau masih belum jelas bagaimana penerapannya. Permasalahan diatas muncul karena berbagai sebab, diantaranya adanya warisan model birokrasi kepolisian yang masih bersifat otokratis sehingga menciptakan budaya organisasi yang tertutup, sehingga Polisi masih cenderung ragu-ragu bekerjasama dengan masyarakat dalam menjalankan tugasnya (meskipun percepatan proses keterbukaan Kepolisian saat ini dinilai termasuk yang paling cepat bila dibandingkan dengan organisasi pemerintahan lain di Indonesia).

Permaslahan lain yang cukup mengganjal dalam menerapkan community policing secara optimal berkaitan dengan model orgnasisai kepolisian yang “Top Down”, dimana pelaksanaan tugas kepolisian banyak dipengaruhi oleh adanya komando dari atas, sedangkan disisi lain, kinerja community policing hanya berhasil manakala partispasi dari bawah dapat terakomodir dengan baik. Oleh karenanya banyak muncul kesan bahwa polisi bekerja seperti robot, tidak fleksibel (takut salah), sehinggap apabila tidak dikendalikan oleh atasannya, maka Polisi cenderung menghindar melakukan pekerjaannya.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa bila dikaitkan dengan proses otonomi daerah yang begitu pesat di Indonesia, maka model pelayanan kepolisian dengan menggunakan strategi community policing akan membutuhkan banyak perubahan yang mendasar pada lembaga Kepolisian. Bila community policing hanya dijadikan sebagai alat public relations saja, maka usaha pengembangan community policing tidak akan banyak hasilnya dan bahkan sebaliknya hanya akan memboroskan sumberdaya Kepolisian yang sudah terbatas ini.

Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi pihak kepolisian maupun masyarakat dan para pakar untuk selalu mengembangkan konsep community policing agar menjadi sebuah strategi yang bersifat implementatif dan mudah dilaksanakan dilapangan oleh para anggota kepolisian serta juga dapat mengembangkan dalam berbagai program yang bersifat teukur dan terarah dalam rangka mencapai tujuan bersama antara Kepolisian dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment