Tuesday, December 25, 2012

Korupsi dan Perubahan Budaya Organisasi


Pendahuluan

Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah kebudayaan konflik, yaitu menekankan pada pentingnya perolehan sesuatu dengan melalui persaingan. Persaingan yang harus mengikuti aturan-aturan main atau hukum yang adil dan beradab yang berada dibawah pengawasan wasit (Suparlan: 2000). Dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, polisi dapat dilihat sebagai berperan wasit atau penjaga untuk ditaatinya hukum oleh warga masyarakat. Pada waktu sebuah masyarakat baru saja terbebas dari kekuasaan pemerintahan yang otoriter, hukum atau aturan main yang berlaku biasanya tidak adil dan tidak beradab. Karena hukum tersebut telah dibangun untuk memenangkan penguasa atau pemerintah dan yang dijalankan dengan menggunakan kekerasan secara paksa.

Membangun masyarakat madani yang modern berarti juga membangun kebudayaan profesional berikut pranata-pranata yang menjadi wahana dari sarananya. Berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat-masyarakat modern akan juga muncul dalam masyarakat Indonesia termasuk masalah korupsi yang menjadi perhatian kita bersama dewasa ini. Disini polisi dituntut perannya dalam turut mencegah, menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari cengkeraman tindaka koruptif.

Peranan ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara profesional. Dalam zaman reformasi yang kita jalani sekarang ini, yang penuh dengan berbagai gejolak masyarakat, peran polisi menjadi sangat penting dalam turut meniadakan perilaku korupsi bukan saja yang dilakukan oleh pihak lain, namun juga yang dilakukan oleh pihak internal Kepolisian. Dunia Polri akhir-akhir ini rasanya, tidak henti-hentinya dihebohkan dengan headline korupsi. Kalau merunut pada beberapa komentator profesional maupun amatir, maka Polri di seteorotip-kan sebagai salah satu organisasi yang memberi kontribusi dalam tren terjadinya korupsi diIndonesia.


Korupsi Sebagai Budaya
Korupsi di Indonesia dianggp bukan hanya sebagai gejala, melainkan juga sebagai budaya. Dalam penelitian Local Government Corruption Study (LGCS) di Indonesia tahun 2007, Bank Dunia menyimpulkan bahwa Modus operandi korupsi di Indonesia antara lain dengan cara 1) memperbanyak dan memperbesar mata anggaran; 2) menyalurkan dana APBD bagi lembaga/ yayasan fiktif; dan 3) manipulasi perjalanan dinas. Sementara di lembaga eksekutif terjadi modus korupsi sebagai berikut: 4) penggunaan sisa dana (UUDP) tanpa prosedur; 5) penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah; 6) sisa APBD dan 7) manipulasi dalam proses pengadaan (Memerangi Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi; Mei 2007; Justice for Poor Program; Bank Dunia).

Dilingkungan Kepolisian, hal yang sama sebagaimana penelitian diatas juga berpotensi terjadi dilakukan oleh para pimpinan kesatuan Polri (sebagai  Kuasa pengguna Anggaran maupun Pejabat Pembuat Komitmen). Jika tidak berhati-hati, dapat saja para kasatwil yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman birokrasi serta tidak memiliki niat untuk korupsi menjadi korban. Kasus ”Simulator SIM” yang saat ini sedang ditangani oleh KPK adalah sebuah fenomena dimana para Kuasa Pengguna Anggaran di level apapun harus lebih hati-hati dalam mengelola keuangan negara yang menjadi beban pekerjaannya.
Masyarakat di Indonesia terhadap polisi-nya selama ini banyak yang menganggap bahwa polisi mudah dipengaruhi oleh uang pelicin. Uang pelicin dianggap sebagai bentuk korupsi yang sudah umum, terutama dalam hubungan dengan hal-hal pemberian surat keterangan, surat izin, dan sebagainya. Biasanya, orang yang menyogok dalam hal ini tidak menghendaki peraturan-peraturan yang ada dilanggar, mereka hanya menginginkan agar berkas-berkas surat dan komunikasi cepat jalannya, sehingga keputusan yang ditempuh tidak lain ialah dengan cara korupsi. Secara tidak langsung sistem uang pelicin ini adalah penyebab utama mengapa timbul ketidakprofesionalan dalam etos bekerja, juga kelambatan-kelambatan dan kemampuan yang rendah dalam pelayanan kepada masyarakat.

Penyebab korupsi di tubuh kepolisian di Indonesia diyakini sebagai bentuk kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta penjatuhan hukuman dari atasan (Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW; 2010). Korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Bahkan, kondisi ini juga diakui oleh kalangan internal kepolisian sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2004. Hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa PTIK angkatan 39-A menyebutkan, korupsi yang terjadi dalam tubuh kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi.

Mantan kepala Divisi Pembinaan Hukum Inspektur Jenderal Aryanto Sutadi (2009) pernah menyebutkan bahwa mafia hukum di tubuh kepolisian tumbuh subur dalam beberapa bentuk, mulai dari salah tangkap, melepaskan tersangka tanpa dasar, penanganan kasus yang tidak benar menurut aturan, hingga memanipulasi data-data penyelidikan dan penyidikan. Tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh kalangan internal. Pada tahun 2001, penelitian Indonesia Corruption Watch mengenai proses pola-pola korupsi di lingkungan peradilan yang dilakukan di enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Samarinda, dan Yogyakarta), menemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.

Dalam survei lain berkaitan dengan integritas KPK yang diumumkan pada akhir tahun 2009 lalu menempatkan Departemen Perindustrian dan Kepolisian RI sebagai instansi yang memiliki integritas terendah. Survei mulai dilakukan oleh KPK mulai April hingga September 2009. Survei dilakukan terhadap 371 unit layanan yang berada di 98 instansi yang terdiri atas 39 instansi tingkat pusat, 10 pemerintah provinsi, dan 49 pemerintah kota/ kabupaten.

Mengapa berbagai reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Polri meskipun telah memberikan dampak bagi perubahan birokrasi Polri, namun tampaknya tetap saja belum dapat merubah pandangan publik terhadap Polri sebagai organisasi yang belum bersih dan melayani?. Sesungguhnya, perilaku koruptif di tubuh kepolisian bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara lain. Singapura pernah mengalami skandal yang sama pada tahun 1952. Kepolisian Hongkong pada tahun 1970-an, karena begitu korup, mudah dikendalikan kelompok Mafia Cina, Triad. Korupsi di tubuh Kepolisian New South Wales, Australia, menyebabkan parlemen Australia tahun 1994 membentuk komisi investigatif reformasi kepolisian. Terakhir, pada tahun 2009 lalu, Atahullah Wahaab, wakil kepala kepolisian di salah satu provinsi Afghanistan, juga ditangkap oleh tentara Amerika karena terlibat kasus korupsi.

Masalah dasar dalam birokrasi yang korup pada umumnya menyangkut sistem dan budaya. Prosedur yang tidak jelas, tumpang tindih, kontradiksi satu sama lain, jelas akan menghidupkan corruption by system (korupsi karena dipaksa). Misalnya saja sistem rekrutmen dan promosi jabatan yang tertutup dan kolutif. Disisi lain, hampir di semua negara yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil, yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya (Suparlan, 2001). Di dalam organisasi Polri hal tersebut dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sistem yang tidak fair dan orientasi pada jabatan tertentu. Demikian pula sistem penggajian yang tidak berbasis kinerja, keadilan, dan kecukupan akan menghasilkan corruption by needs (korupsi karena terpaksa). Jika dua jenis korupsi ini terhubung dengan pengaruh politik kepentingan (baik individu maupun kelompok), maka akan tercipta corruption by greedy (korupsi yang memaksa karena keserakahan).

Sebagai suatu sistem tatalaku, kita melihat bahwa budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985: 180). Budaya dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) wujud, yakni:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
(Koentjaraningrat, 1985: 186).

Mengacu kepada berbagai penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bahwa Korupsi dalam organisasi polisi bisa tumbuh dan berkembang dalam pikiran yang selanjutnya memberi arah pada tindakan pelaku organisasi karena adanya kebutuhan dan atau keserakahan. Masih mengacu kepada konsep tersebut, wujud nyata budaya korupsi dalam kenyataan kehidupan organisasi kepolisian tentu tidak terpisah satu dengan lain. Di Polri ada Kebudayaan ideal dan norma yang mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya anggota Polri untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma dan aturan yang harus ditaati. Namun budaya ideal tersebut bertabrakan dengan kondisi lingkungan faktual yang kemudian dapat terjadi penyimpangan yang disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan-tindakan manusia didalam kegiatan nyata.

Disinilah para pelaku organsiasi tadi beradaptasi dan memunculkan sub-kebudayaan baru yang membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang bisa menjauhkan mereka dari kebudayaan ideal sebagaimana diamanatkan oleh etika profesi Polri, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatan, dan juga cara berpikir mereka pada saat melaksanakan tugas pemolisian. Akumulasi terhadap pembiaran perilaku koruptif ini lama-kelamaan mengakibatkannya menjadi budaya yang diterima. Apalagi sikap mental masyarakat juga membiarkan.

Rekomendasi
Persoalan sistem dan budaya dalam organisasi Kepolisian memang sangat kompleks. Maka, perubahannya pun harus bersifat resiprokal dan secara paralel. Sistem yang baik dan unggul akan mengurangi atau mencegah praktik budaya yang korup dan mempercepat pembentukan sistem yang paripurna. Kesulitan reformasi birokrasi Polri adalah pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sistem dan budaya secara bersamaan. Perubahan budaya tidak bisa dilakukan secara instan dan sering hasilnya bersifat intangible (tidak berwujud). Demikian pula perubahan sistem birokrasi dilingkungan Polri sangat juga dipengaruhi oleh sistem tata nilai organisasi, sistem tata politik negara, dan sistem penegakan hukum, kode etik dan profesi serta pengaruh kuat budaya masyarakat.

Strategi akselerasi reformasi birokrasi Polri, difokuskan untuk menyelesaikan persoalan sistem dan budaya birokrasi Polri yang agak kompleks ini. Reformasi polri pada awalnynya difokuskan pada 3 hal; struktural, intstrumental dan kultural. Nyatanya sisi reformasi kultural ini memang agak kedodoran. Memang tidak mudah. Struktur pemerintahan sudah sangat desentralistik, namun struktur organiasai Polri masih sentralistik. Disatu sisi praktek birokrasi di pemerintahan daerah sangat fragmented, namun pola tindakan kepolisian "seolah2 dipaksakan harus seragam". Kesulitan mengubah  sub-budaya birokrasi juga disebabkan kuatnya pengaruh eksternal organisasi, dimana Polri sebagai "alat negara" dewasa ini menjadi "utilities" atau seperangkat alat yang dianggap bisa digunakan oleh siapapun yang berkepentingan dengannya dan menjadi "alat menyebalkan" bagi siapapun yang berinteraksi dengannya.

Pada sisi lainnya, sebagian agenda reformasi birokrasi Polri bertujuan jangka panjang dan baru dirasakan 10 sampai 15 tahun (Grand Strategi Polri berujung pada kurun waktu 2025). Disisi lain RBP polri juga ada yang bertujuan jangka pendek untuk memperoleh kepercayaan masyarakat yang secepat-cepatnya, bahwa birokrasi telah berubah melalui beberapa upaya antara lain quick wins, creative breakthrough, terobosan, dan berbagai upaya lainnya. Karena itu, pendekatan reformasi birokrasi Polri harus mampu menggabungkan strategi pada level makro maupun mikro. Di tingkat makro reformasi sistem dan budaya pada lingkungan Polri dilakukan dengan perbaikan relasi eksternal dengan berbagi counterpart (KPK, Ombudsman, BNN, dll) dan para stake holder strategis, baik dalam bentuk Kerjasama strategis maupun taktis, seperti CJS, Lembaga Tinggi Negara, Legislatif, akademisi, Pemangku Media massa, LSM vokalis, dan para Opinion Setter, dan berbagai elemen lainnya.

Secara makro juga dilakukan melalui pengembangan sistem yang terintegrasi dari berbagai macam subsistem dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Oleh karena itulah, disini kita kembali bicara ttg panggilan darurat (apapun namanya 110/ 112/ 911?) serta integrasi Radio Komunikasi dan kinerja berbasis webnet. Apa yang diuraikan tersebut bukan hal yang terlalu di awang-awang.. Dan bahkan apapun program PBB terhadap pengembangan Kapasitas organisasi Kepolisian di negara-negara yang terlibat konflik saat ini, kinerja tekhnologi dan panggilan darurat adalah salah satu strategi pengembangan kapasitas kepolisian negara-negara yang kami program (Penulis saat ini bekerja sebagai Koordinator Perencana Kepolisian di Divisi Kepolisian, Markas Besar PBB).

Di tingkat mikro, reformasi birokrasi Polri harus dilakukan oleh masing-masing pimpinan dalam level apapun. Bentuknya mulai dari mulai perubahan cara berfikir (mindset) dan culture set, perubahan sistem pengelolan personil diberbagai tingkatan, perubahan sistem akuntabilitas dan transparansi (keuangan maupun kinerja), hingga perubahan proses bisnis pelayanan. Untuk itu, sudah sepatutnya para manager Kepolisian dalam level apapun melakukan Benchmark terhadap organisasi pemerintahan maupun organisasi kepolisian lain yang telah berjalan dengan baik selama ini.

Strategi kedua adalah penguatan kontrol masyarakat terhadap roda organisasi Polri melalui participative governance. Kultur organisasi Polri akan berubah jika ada tekanan politik dari masyarakat dalam pelayanan kepolisian, dan proses penegakkan hukum. Penguatan kontrol masyarakat dilakukan melalui pembentukan sistem pengaduan masyarakat, penetapan maklumat pelayanan (ada pengumuman yang jelas prosedur dan prosesnya), pengukuran indeks kepuasaan masyarakat (ini tidak bisa dihindari karena tiap tahun Polri diukur terus oleh LSM-LSM), dan keterbukaan informasi publik (public disclosure).

Strategi ketiga adalah pembentukan sistem pengelolaan SDM yang berbasis kompetensi dan terbuka. Perilaku korup dimulai dari proses rekrutmen, pendidikan, hingga promosi jabatan. Upaya untuk mengubahnya, diciptakan sistem rekrutmen yang terbuka, independen, dan profesional. Sistem promosi jabatan harus dilakukan secara terbuka dan memberikan kesempatan kepada setiap calon yang memenuhi syarat kompetensi jabatan untuk memaparkan visi misi dan action plan nya bila dia ditempatkan dalam jabatan tertentu. Bukan sekadar kepangkatan dan senioritas.

Dewasa ini, kementian PAN berupaya memperkuat akuntabilitas dan integritas seluruh birokrat (termasuk Polri) melalui konsep zona integritas menuju wilayah birokrasi bersih dan melayani. Wujudnya melalui pelaporan harta kekayaan untuk semua aparat birokrasi, penegakan kode etik, penanganan konflik kepentingan, pembentukan whistleblower system, post-employment policy, serta penelusuran transaksi rekening yang tidak wajar.

Untuk mendukung akuntabilitas dan integritas Polri sebagaimana saya sampaikan diatas, maka perubahan sistem penggajian yang adil, layak, dan berbasis kinerja juga merupakan kunci perubahan kultur dalam birokrasi. Strategi ini gabungan antara perubahan sistem dan perubahan budaya secara bersama-sama. Tidak ada jalan pintas dalam reformasi birokrasi Polri, tetapi berbagai strategi ini diharapkan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang kita cintai.




Daftar Pustaka

Ali, Novel. 2006. “Polisi di tengah Masyarakat Demokratis”. Artikel dalam Suara Merdeka, 29 Juni.
Dwipayana, AA.GN. 2002. "Desentralisasi Keamanan". Dalam Desentralisasi dan Demokrasi Lokal: Annual Report Institute for Research Empowerment. Yogyakarta: IRE.
Emerson Yuntho; Wakil Koordinator ICW; Waktunya Membersihkan Korupsi di Kepolisian; Republika 2010
Garna, Judistira K. 2007. Kebiasaan dan Adat dalam Kehidupan: Kajian dan Analisis Budaya Indonesia. Bandung: Primaco Akademika dan Judistira Garna Foundation.
Justice for Poor Program; Bank Dunia. Memerangi Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi; Hasil Penelitian Local Government Corruption Study (LGCS)  May 2007;
_____. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Hudayana, Bambang. 2002. “Profesionalisme TNI dan Polri”. Dalam Arie Sujito dan Sutoro Eko (eds). 2002. Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krishna Murti. 2005. Geger Kalijodo. Jakarta: Indonesia Printer
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.
Panggabean, Rizal. 2002. “Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan”. Dalam Arie Sujito dan Sutoro Eko (eds). 2002. Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press.
Sujito, Arie. 2002. "Profesionalisme Militer dan Kepolisian". Dalam Desentralisasi dan Demokrasi Lokal: Annual Report Institute for Research Empowerment. Yogyakarta: IRE Press.
_____. 2002. Partisipasi Sipil Mengelola Keamanan. Yogyakarta: IRE Press.
Suparlan, Parsudi. 2000. “Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”.
_____. 1999.  "Etika Publik Polisi Indonesia". Makalah Sarasehan. Tanpa penerbit.
_____. 1999. “Polisi Indonesia dalam rangka Otonomi Daerah. Makalah dalam Seminar Hukum Nasional VII. Jakarta: Departemen Kehakiman.
_____. 1983. “Kerangka Teori, Model Teori, dan Masalah Penelitian”. Makalah dalam Seminar Penelitian Kebudayaan. Jakarta, 7 – 10 Februari.
ul Haq, Mahbub. 1995. Reflections of Human Development. Oxford: Oxford University Press.

No comments:

Post a Comment