Wednesday, June 4, 2014

TANTANGAN GLOBAL DAN BELAJAR DARI CONTOH KEPEMIMPINAN GLOBAL


Berakhirnya era perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang ditandai dengan keruntuhan Uni Soviet telah mengubah peta kekuatan politik internasional secara drastis. Secara politik, sejak bubarnya Soviet pada tahun 1991 hingga kini tinggal ada satu poros kekuatan politik dunia yaitu Amerika Serikat.

Dominasi kekuatan politik Amerika Serikat jelas dirasakan keberadaannya di berbagai belahan dunia, khususnya kehadiran militer Amerika di wilayah-wilayah negara yang mengalami pergolakan politik. Dari Timur Tengah, Afrika, Asia, hingga Amerika Latin. Posisi Amerika inilah yang kemudian memunculkan istilah Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia.

Di Timur Tengah, konflik Palestina dan Israel, serta revolusi di negara-negara kawasan Teluk sebagai dampak dari “musim semi” di Jazirah Arab (The Arab Spring), tidak lepas dari campur tangan Amerika. Juga konflik di Afrika, di Sudan, Sieraleone, dan Somalia. Di kawasan Asia, gejolak di semenanjung Korea, antara Korea Utara dengan rivalnya Korea Selatan dan Jepang tidak luput dari perhatian Amerika untuk menempatkan Armada perangnya di kawasan ini.  

Di satu sisi, kekuatan politik Amerika seperti tidak memiliki tandingan. Namun, di bidang ekonomi, kelesuan dan krisis ekonomi Amerika yang ditandai krisis utang perumahan atau subprime mortgage, pada Juli 2007, telah membuat raksasa ekonomi Amerika mengalami kelesuan. Pertumbuhan ekonomi anjlok, dan ambruknya lembaga-lembaga keuangan seperti bank investasi terbesar keempat dunia Lehman Brothers yang telah berusia 158 tahun. Pemberian dana talangan atau bailout pemerintah Amerika terhadap lembaga Asuransi terbesar Amerika, AIG, menjadi pertanda bagi resesi ekonomi yang melanda Amerika pada tahun 2008 lalu.

Di sisi yang lain, kebangkitan ekonomi melanda negara-negara berkembang. Tiongkok, India, Afrika Selatan, Rusia, dan Brasil. Negara-negara dengan tingkat kemajuan yang spektakuler inilah yang oleh Lembaga Keuangan dan Perbankkan Amerika, Goldman Sachs pada tahun 2001 disebut sebagai BRICS yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. Goldman Sachs, memprediksi gabungan keempat ekonomi negara BRICS pada tahun 2050 akan mengalahkan semua negara kaya di dunia.

Dari lima Kemajuan negara-negara ekonomi BRICS, dua diantaranya ada di Asia. Jika sebelumnya Asia didominasi oleh kekuatan ekonomi Jepang dan Korea Selatan, kini keberadaan Cina dan India, melebar pengaruhnya hingga ke Indonesia. Walaupun Indonesia sendiri tercatat masuk di dalam 19 negara dengan kemajuan tinggi di dunia.


BELAJAR DARI KARAKTER KEPEMIMPINAN PEMIMPIM DUNIA YANG BERWAWASAN GLOBAL

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS pertama yang diselenggarakan di Yakaterinburg Rusia, pada 16 Juli 2009, dihadiri oleh empat pimpinan negara, Brasil oleh Luiz Inacio Lula da Silva, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan Singh dan Presiden Cina Hu Jintao.  

Karakter kepemimpinan wakil Asia di BRICS tersebut, bisa kita telusuri dari profil dan karier politik dan dua tokoh Manmohan Singh, dari India dan Hu Jintao dari Tiongkok. Kedekatan budaya sebagai sesama Asia, sedikit banyak bisa kita pelajari, untuk diambil kebaikannya bagi referensi kepemimpinan nasional di tanah air.

a.     Manmohan Singh
Manmohan Singh dikenal sebagai arsitek dari reformasi perekonomian India. Doktor Ekonomi terbaik dari Universitas Oxford ini pernah bekerja di lembaga keuangan internasional IMF dan pernah menjadi Kepala Keuangan untuk Seksi Perdagangan UNCTAD Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada tahun 1987-1990.

Selain menjadi guru besar bidang ekonomi di beberapa universitas terkemuka di India, ia juga menjadi pejabat di Kementerian Keuangan. Ia kemudian menduduki kursi Menteri Keuangan India, pada tahun 1991-1996 di saat krisis ekonomi melanda Asia, pada masa Pemerintahan Partai Kongres Nasional di bawah Perdana Menteri PV Naramsimha Rao. Kebijakan ekonomi Singh kemudian terbukti menyelamatkan India dari krisis keuangan yang juga diakui oleh dunia.

Sebagai mantan Gubernur Bank Sentral India, Singh mengubah perekonomian berorientasi ke dalam negeri menjadi terbuka. Hal itu mampu membuat perekonomian India tumbuh dari rata-rata 2-3 persen menjadi rata-rata 6 persen. Singh membuka perekonomian bagi investasi asing dengan memangkas hambatan perdagangan. “Negara sedang terancam dan tidak ada waktu yang boleh terlewatkan dengan sia-sia,” demikian dikatakan di Parlemen India pada tahun 1991 saat ekonomi India mengalami persoalan besar. Ia kemudian mengurangi subsidi dan melakukan swastanisasi pada sebagian perusahaan negara.

Singh juga memaksa para pebisnis untuk mendapatkan persetujuan pemerintah atas setiap keputusan apapun. “Jika Anda mengelola ekonomi secara kaku dan menutup diri dari dunia luar, tidak akan ada yang terangsang untuk bereproduksi dan membawa ide baru,” katanya. Investasi asing masuk, inflasi diturunkan dari 17 persen menjadi 8,5 persen yang kemudian hanya 4 persen. Di negara yang menjalankan sistem perekonomian mirip Uni Soviet tindakan demikian menandai awal revolusi ekonomi India.

Meski demikian, Singh tidak melupakan akar keluarganya yang berasal dari golongan miskin kaum Sikh dari Amritsar di utara India. Ia adalah penentang liberalisasi ekonomi yang liar dan percaya bahwa pasar tidak bisa sepenuhnya dipercaya untuk membawa kemakmuran bagi warga miskin India. “Diperlukan kebijakan pembangunan yang manusiawi,” katanya. Dia mengatakan, India memerlukan emansipasi dari perang keinginan dan eksploitasi.

Manmohan Singh adalah salah satu contoh kelompok masyarakat terpelajar India yang sukses menimba ilmu di luar negeri. Pada dasawarsa berikutnya, ribuan kaum terpelajar India, berduyun-duyun memenuhi kampus-kampus terkemuka di berbagai negara maju. Mereka inilah yang kemudian kembali ke tanah airnya di India dan ikut mewarnai negara India yang baru. Sebagai contoh, India memiliki keunggulan dalam bidang teknologi informasi, pasar keuangan dan industri manufaktur. Kemajuan India yang kini diidentikkan dengan keberadaan Kota Mumbai, sebagai kawasan bisnis terbesar atau metropolitan di India dan Asia Selatan pada umumnya, tak bisa dilepaskan dari gagasan besar pemimpin sekelas Manmohan Singh.

b.     Hu Jintao
Contoh kedua adalah Presiden Cina, Hu Jintao. Insinyur hidroulik dari Universitas Qinghua ini memang politisi terkemuka dari Partai Komunis Cina (PKT). Ia mengawali karier politiknya dari bawah, sebagai asisten politik di almamaternya. Sebagai kader menonjol, ia segera mendapatkan perhatian dari Rektor Universitas Qinghua, Jiang Nanxiang, Hu dipromosikan bekerja sebagai kader di kantor pusat partai di Beijing.

Seperti lazimnya kader-kader muda Partai Komunis, ia mendapatkan penugasan penting di daerah-daerah termiskin di Cina di Propinsi Ganzu di Tiongkok Barat Laut. Di sini ia menjadi Wakil Sekretaris Partai Komunis, kemudian menjadi Sekretaris PKT Provinsi Guizhou (Tiongkok Barat Daya). 

Pada tahun 1988, Hu diangkat sebagai Sekretaris PKT di Tibet. Kawasan yang penuh gejolak, karena provinsi ini sudah lama ingin memisahkan diri dari Cina. Di sini, ia memiliki kontroversi, sebelum ia sampai di Lhasa Ibu Kota Propinsi Tibet, telah terjadi demonstrasi besar-besar menentang pemerintah pusat yang kemudian ditumpas dengan aksi kekerasan. Pemberlakuan Undang-undang Darurat dalam mengatasi kekacauan yang juga menjadi preseden dalam penanganan aksi unjuk rasa mahasiswa di lapangan Tiananmen

Sejak itu tak pernah ada kata kompromi atas setiap aksi yang hendak memisahkan Tibet dari Tiongkok, sehingga ia dianggap bertanggung jawab atas kematian Lama Panchen, pemimpin spiritual tertinggi kedua di Tibet, setelah Dalai Lama. Namanya juga tersangkut dalam kasus Tiananmen yang menewaskan 218 warga sipil dan 23 tentara serta 7.000 orang terluka pada awal 1989.

Tahun 1990, Hu a menghabiskan waktunya di Beijing dan terpilih untuk mengatur persiapan penyelenggaraan Kongres PKT ke-14 pada tahun 1992. Kongres ini menjadi penting sebagai pengatur transisi kekuasaan kepemimpinan pasca Deng Xiaoping. Dalam kongres itulah, Deng Xiaoping mempromosikan Hu Jintao dari sekretaris partai provinsi memasuki ruang kekuasaan sebagai “kader lintas generasi”.

Ketika memimpin Sekolah PKT sejak tahun 1993, Hu Jintao melakukan perubahan dengan mendorong diskusi terbuka membahas masalah reformasi. Lintasan kariernya menunjukkan bahwa ia mampu bekerja efektif. Lebih dari sepuluh tahun rela menunggu dan tampaknya dia telah mengakumulasi kekuasaan dan inisiatif. Posisinya sebagai pengganti Jiang Zemin kian jelas tahun 1998 ketika menjadi Wakil Presiden dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat pada tahun 1999.

Pada Kongres PKT ke-16 Oktober 2002, Hu Jintao terpilih sebagai pemimpin Tiongkok. Kongres berakhir dengan memilih 9 anggota Komite Tetap Politbiro PKT dengan Sekretaris Jenderal Hu Jintao sebagai inti kepemimpinan Tiongkok. Berbagai kritikan langsung diarahkan padanya. Dalam buku China’s New Rulers yang mengutip dokumen sangat rahasia Tiongkok menyebutkan kebiasaan Hu yang setia dan taat. Secara bertahap, ia memperoleh hormat dan dukungan berspektrum regional dan politik.

Jabatannya kian lengkap ketika menjabat pemimpin negara pada tahun 2003. Ia menggantikan Jiang Zemin yang mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Komunis pada tahun 2004, segera ia juga merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Komisi Militer Partai Komunis 2004, dan Ketua Umum Komisi Militer Republik Rakyat Tiongkok. Ia menjabat sebagai Presiden Republik Rakyat Tiongkok hingga tahun 2013. Pada Maret 2013 setelah sebuah pemungutan suara dalam pertemuan parlemen di Beijing , ia digantikan oleh Xi Jinping sebagai Presiden Republik Rakyat Tiongkok.

Pada masa Hu Jintao inilah, kedigdayaan Cina mulai dirasakan oleh Amerika Serikat. Bahkan, krisis keuangan di Amerika, telah menyebabkan Amerika memiliki hutang yang besar kepada pemerintah negeri tirai bambu ini. Kebijakan ekonomi yang mulai dirintis di era Deng Xiaoping dengan membuka pasar bebas, dirasakan kemajuannya di era Hu Jintao.

Selain kemampuan produksi murah, sebagai warisan kerja bersama sebagai tradisi negara komunis, telah membuat produk-produk Cina sangat kompetitif di pasar dunia. Era terbuka Cina, juga telah mendorong kembalinya kelompok Cina Perantauan atau Chinese Overseas Community. Kelompok perantauan khususnya datang dari Provinsi Fujian dan Guandong yang menjadi daerah asal Cina Perantauan. Mereka yang selama ratusan tahun mengelana ke berbagai penjuru dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan sebagian besar sudah menjadi taipan-taipan bisnis terkemuka. Mereka inilah yang ditarik untuk kembali ke daratan karena ikatan dengan tanah leluhur mereka.

Dalam perkembangan dunia, kini ekonomi dunia seakan terbelalak dengan kebesaran Cina dan India. Bahkan Presiden Amerika Barrack Obama harus menundukkan kepala ketika berjabat tangan dengan Presiden Hu Jintao dalam pertemuan para pemimpin Negara Gerakan 20 (G-20) di Seoul, Korea Selatan, awal Nopember 2010 lalu. Gerak tubuh Obama seakan memberi pengakuan akan kebesaran Sang Naga. Apalagi banyak pengamat ekonomi yang menyebutkan krisis ekonomi di Amerika hanya akan tertolong oleh budi baik negeri Tirai Bambu.


MASALAH GLOBAL DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN NASIONAL INDONESIA

Kemajuan pesat yang terjadi, khususnya di kawasan Asia inilah yang menjadi tantangan baru bagi Indonesia. Apalagi, di Asia letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah jalur perdagangan internasional. Letak yang strategis seharusnya menjadi kunci penting bagi peran strategis Indonesia di kawasan Asia maupun dunia. Ada seperlima hingga seperempat distribusi perdagangan laut dunia melewati Selat Malaka yang membelah Sumatera dan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.

Ada 40 persen lebih jalur distribusi energi baik minyak dan gas dunia yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika, melewati perairan sempit yang membelah dari Aceh hingga Kepulauan Riau ini. Selanjutnya bahan bakar tersebut diangkut ke negara-negara dengan kebutuhan energi yang tinggi seperti Indonesia, Jepang, Korea, dan Cina. Selat Malaka menjadi jembatan penghubung antara negara-negara di Samudera Hindia dengan kawasan Pasifik.

Kemajuan Ekonomi Cina dan pertambahan anggaran belanja bagi kekuatan militernya yang spektakuler, telah membuat Amerika di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, mulai melirik kawasan Asia Pasifik. Jika pendahalunya, seperti George Bush Senior dan George W Bush Junior, yang lebih menitikberatkan perhatian di kawasan Atlantik dan Timur Tengah, Presiden Barak Obama, menaruh perhatian yang lebih besar terhadap kawasan Asia Pasifik.

Perhatian ini kemudian ditandai dengan penambahan kekuatan militer Marinir Angkatan Laut Amerika yang baru-baru ini ditempatkan di Darwin, Australia. Keberadaan pangkalan AL Amerika ini, disebut-sebut sebagai upaya untuk mengimbangi dominasi kekuatan militer Cina di kawasan Asia dan Pasifik. Apalagi, hubungan Cina dan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara memiliki titik-titik panas, terkait sengketa wilayah perairan. Seperti sengketa wilayah Laut Cina Timur antara Cina, Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan sengketa di Laut Cina Selatan, melibatkan jumlah negara yang lebih besar, yaitu antara Cina, Filipina, Brunai Darusalam, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.  

Klaim sepihak Cina atas gugusan Pulau Paracels telah memanaskan hubungan Beijing dan Manila dan Hanoi, Vietnam. Bahkan, kasus penempatan anjungan minyak di Kepualuan Paracels telah membangkitkan sentimen anti Tiongkok di Vietnam, baru-baru ini. Sentimen anti Cina, yang dibarengi dengan aksi demonstrasi anti Tiongkok di Vietnam, bahkan sampai menelan korban jiwa pada medio Mei 2014 lalu. Ini semua menunjukkan bahwa kawasan Asia, walaupun nampak damai, tetapi masih memiliki potensi kerawanan yang tinggi.  

Gugusan Pulau Paracels yang terletak 220 KM dari Pantai Vietnam, yang diduga memiliki cadangan minyak yang besar, di klaim Cina sebagai wilayahnya berdasarkan sejarah kekuasaan leluhurnya di masa lalu. Sedangkan Vietnam dan Filipina, mengklaim bahwa kawasan tersebut sebagai bagian dari zona ekonomi ekslusif negaranya.

Ketegangan inilah yang tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dalam kunjungan di Hanoi hari Kamis 29 Mei 2014 lalu asisten menteri luar negeri Amerika, Daniel Russel mendesak kedua negara saling mengekang diri dari melakukan tindakan sepihak, sambil menambahkan bahwa ekonomi dunia terlalu rapuh untuk membiarkan terjadi krisis yang dapat berkembang menjadi konflik.

Russel mengatakan, tiap negara berhak membela posisi dan klaim kedaulatan atas sesuatu wilayah. Amerika, katanya, tetap berpendirian bahwa pembelaan harus lewat saluran diplomatik dan cara mengajukan sesuatu klaim mesti sesuai dengan hukum internasional termasuk Konvensi PBB dan Hukum Laut. Langkah diplomatik, dilakukan untuk mencegah konflik perairan menjadi konflik bersenjata.

Langkah-langkah diplomatik, tentu saja membutuhkan kepemimpinan-kepemimpinan yang visioner. Pemimpin yang melihat bahwa suatu bangsa tidak akan lagi bisa hidup sendirian di belantara globalisasi sekarang ini. Interdependence atau saling ketergantungan antara negara, seharusnya dipahami oleh para pemimpin di kawasan sehingga tercipta perdamaian dunia.

Berkaca pada studi kasus negara-negara anggota BRICS, dimana kita akan mendapatkan karakter kepemimpinan yang kuat dari masing-masing negara tersebut dan dikaitkan dengan karakter kepemimpinan nasional dan selanjutnya keterkaitannya dengan kepemimpinan kita yang harus dibentuk dalam mengantisipasi tantangan masa depan.

Dari dua contoh di atas India dan Cina, bahwa rekrutmen kader-kader pemimpin begitu berjenjang dan melewati serangkaian ujian dan krisis bisa menjadi contoh.  Betapa untuk menjadi pemimpin nasional, tidak bisa datang seketika hanya berlandaskan ketokohan saja.  Tetapi kemampuan-kemampuan teknis yang telah dilakoni dalam kurun waktu yang lama akan sangat membantu dalam menyelesaikan problem-problem yang muncul masa kepemimpinannya.

Seperti peribahasa Cina yang mengatakan, “If you are thingking a year ahead, plant a seed. If you are thingking a dekade ahead, plant a tree. If you a thingking a century ahead, educate people”. (Bila Anda memikirkan setahun ke depan, tanamlah benih. Bila Anda memikirkan satu dasarwarsa ke depan, tanamlah pohon. Bila Anda memikirkan satu abad ke depan, didiklah manusia).  Dengan mendidik manusia akan akan melahirkan generasi-generasi pemimpin bangsa yang tangguh.

Wednesday, May 21, 2014

BEAT PROFILING PADA TUGAS KEPOLISIAN

Mengapa terjadi kemerosotan hubungan Polisi dan Masyarakat: Menurut saya alasan  merosotnya hubungan polisi dengan masyarakat  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Munculnya gerakan reformasi yang menekankan prinsip-prinsip bahwa kewenangan polisi harus didasarkan pada hukum, penegakan hukum adalah tugas utama kepolisian, dan akhirnya memunculkan asumsi tanggung jawab warga terhadap Kamtibmas yang ada selama ini  telah beralih menjadi tanggung jawab pemerintah/ polisi.

Kedua, gerakan menuju profesionalisasi telah menyebabkan semakin terisolasinya  polisi dari  masyarakat yang dilayaninya, walaupun keadaan ini belum dirasakan menghambat kegiatan tugas-tugas kepolisian. Pada era ini idiologi yang mengemuka adalah bahwa polisi sebagai  professional merupakan orang yang paling mengetahui tentang Kamtibmas dan bahwa masyarakat tidak harus terlibat aktif dalam kegiatan polisi kecuali sekedar memberi informasi tentang kejahatan.

Ketiga, Kebijakan tentang  penugasan anggota polisi yang sering dipindah tugas dari satu penugasan ke penugasan lainnya. Kebijakan ini selain dimaksudkan untuk ”tour of duty”; pembinaan karier juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya Korupsi/KKN. Hal ini berakibat banyaknya polisi kurang mengenal warga dan lingkungan tempat tugasnya.

Keempat, kebijakan manajemen sentralistik yang bertujuan agar anggota mengikuti prosedur standar operasi yang ditetapkan oleh pusat. Kebijakan ini dimaksud untuk mendorong profesionalisme dan agar polisi tidak memihak/netral dalam pelaksanaan tugas. Kebijakan sentralistik ini telah berakibat praktek birokrasi dan depersonalisasi dalam pemolisian.

Kelima, peningkatan penggunaan mobil patroli telah mengurangi kegiatan patroli jalan kaki secara signifikan. Selama ini patroli jalan kaki sangat efisien karena kedekatannya dengan warga, berbeda dengan patroli bermobil yang kurang mudah didekati karena kecepatannya. Polisi semakin jauh dan tidak mengenal dengan baik  warga yang harus dilayaninya.

Keenam, kemajuan teknologi kepolisian terutama dibidang telekomunikasi, informasi teknologi, computer dan lain-lain semakin menjauhkan polisi dari masyarakat.



BEAT PROFILING

Strategi pemolisian tradisional yang selama ini dijalankan adalah pertama, patroli pencegahan (preventive patrol). Kedua, reaksi cepat ke TKP (rapid response), dan ketiga, penyidikan tindak pidana (follow-up investigation) dinilai sebagai strategi pemolisian tradisional  yang tidak efektif telah menyebabkan angka kriminalitas  yang semakin meningkat dan  tantangan tugas kepolisian yang semakin besar.

Indikatornya:
Pertama, masyarakat perkotaan mengalami berbagai masalah seperti Narkoba, perjudian, ancaman premanisme, kejahatan jalanan, dan tingkat kejahatan kekerasan yang cukup tinggi. Hal yang sama juga mulai dirasakan masyarakat yang tinggal di pinggiran kota maupun pedesaan.

Kedua, perubahan masyarakat yang terjadi pada struktur masyarakat, ikatan keluarga tradisional yang sebelumnya kuat mulai melemah. Peranan sekolah dan pendidikan agama dalam membina warga juga semakin melemah.  Masyarakat terutama di perkotaan berkembang menjadi semakin majemuk dengan nilai-nilai dan budaya  yang semakin berbeda. Kesenjangan sosial dan ekonomi dikalangan warga semakin lebar dan mengkhawatirkan.

Ketiga,  dalam situasi seperti ini, gangguan kriminalitas dan ketidak tertiban semakin menonjol, yang diikuti dengan kemerosotan  lingkungan hidup warga telah menyebabkan meningkatnya rasa tidak aman dikalangan masyarakat. Dilain pihak strategi pemolisian tradisional yang dijalankan ternyata tidak mampu mengatasi berbagai masalah tersebut.
Kesimpulan dari situasi ini adalah bahwa perpolisian tradisional yang dijalankan selama ini telah kurang optimal dalam menjamin Kamtibmas yang didambakan warga sehingga perlu strategi baru  dalam pemolisian.

Sebagai upaya untuk mengatasi berbagai masalah tersebut diatas maka kita semua perlu memahami kembali Konsep Problem-oriented Policing (Pemolisian berorientasi masalah) diperkenalkan oleh Prof Herman Goldstein pada 1979, konsep ini pada dasarnya melihat kejahatan sebagai puncak gunung es yang dibawahnya terdapat masalah dan akar masalah.

Selama ini polisi cenderung menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Konsep ini menyarankan agar dilakukan analisa atas kejahatan-kejahatan yang terjadi agar dapat mengungkapkan akar masalah penyebab kejahatan. Menanggulangi akar masalah akan dapat menghilangkan sekaligus berbagai kasus kejahatan yang terjadi berulang-ulang.

Metode ini merubah cara penanganan kejahatan yang semula reaktif menangani kasus menjadi proaktif dengan menangani akar masalah kasus-kasus tersebut.  Metode pemecahan masalah yang populer digunakan antara lain menggunakan model SARA (Scanning, Analysis, Response, dan Assess ) dan Segitiga Kejahatan ( Cirme triangle ) yaitu analisa terhadap korban, lokasi, dan pelaku. Ketrampilan baru sebagai Crime Analyst menjadi penting dalam organisasi kepolisian.

Dalam hal ini saya ijin memperkenalkan konsep “beat profiling”, para anggota yang bertugas disuatu lingkungan bersama warga mulai mempelajari topografi, demografi, dan sejarah situasi kamtibmas wilayah tugasnya. Anggota diberikan kebebasan menetapkan patroli sesuai kondisi daerah masing-masing dan harapan warga. Bahwa sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi warga. Polisi harus kembali bermitra/ bekerja sama dengan warga dan menggunakan pendekatan pemecahan masalah bersama warga, bila ingin berhasil dalam memelihara Kamtibmas.


Monday, May 19, 2014

APA YANG SALAH DENGAN BANGSA INI?

Apakah pembangunan sektor sosial (pendidikan, kesehatan dsb.) telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya? 

Apakah Pembangunan Sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? 

Apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat

Apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan?.

Samuel Huntington pada tulisannya di buku Culture Maters, menggambarkan bahwa: pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan.  Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua ini tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Bagaimana Indonesia dibanding Malaysia dan Korea Selatan? Apakah bangsa kita termasuk pada katagori “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture)??. Pertanyaan besarnya adalah, Apakah kita ditakdirkan untuk terbelakang?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, tidak mungkin dirubah atau dibangun?. Pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang  telah membangun budaya kita selama ini?”.  Apakah pembangunan kita telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?

Pemerintah Orde Baru telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 7%) pada  kurun waktu satu dekade (1990 an) sehingga Indonesia disebut “economic miracle” dan dikategorikan sebagai “Macan Asia” oleh Bank Dunia. Namun apa reaksi rakyat?  Pada akhir dekade itu Suharto digulingkan oleh gerakan Reformasi Rakyat.

Saat ini dimasa reformasi, ekonomi makro kita  selalu dilaporkan baik, pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir berada diatas 6% walaupun  terjadi krisis di Amerika dan Eropa. Namun apa reaksi rakyat? : cacimaki rakyat, demo, boikot dsb.

Bila kita merujuk pada Jajak pendapat (Kompas 2013), terkait dengan Aspirasi sosial- budaya rakyat ternyata Pembangunan bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”,  tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan Sosial-budaya” .
Ø  60,8% responden tidak puas pada kinerja Pemerintah menjaga kebhinekaan
Ø  65.5 % persen tidak puas pada Pemerintah menjaga kerukunan
Ø  67.4% tidak puas pada pencegahan konflik antar etnis.
Ø  54% merasa  warga minoritas belum terlindungi dalam beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Mereka juga merasa tidak terlindungi dari kekerasan.

Saat ini pengukuran kinerja pemerintah Sangat Kuantitatif karena didominasi oleh GNP dan GDP. Padahal Kehidupan Sosial-Budaya bersifat kualitatif  perlu seperti :
Ø  kehidupan politik yang lebih demokratis dan bisa dipercaya,
Ø  kehidupan beragama yang lebih toleran dan sejuk,
Ø   hubungan  etnis yang rukun dan mesra,
Ø  sikap budaya yang lebih multikultur,
Ø  kehidupan yang lebih aman dan bebas dari ketakutan dan kekerasan,
Ø  hak azasi yang lebih dihargai dan dilindungi, 
Ø  bakat dan kreativitas yang lebih diberi tempat,
Ø  aspirasi yang lebih didengar dsb.

Pada tahun 1994 di Copenhagen diselenggarakan “World Summit of Social Development yang lebih menekankan “Pembangunan Sosial” terutama pada isu kemiskinan. Untuk itu perlu dicatat bahwa kemiskinan material hanya merupakan suatu akibat dari masalah yang lebih mendasar dalam kehidupan sosial-budaya suatu bangsa yaitu eksklusi sosial (tidak dipenuhinya hak-hak dasar kehidupan secara merata bagi seluruh warga Negara).

PBB melalui UNDP telah  memperkenalkan Human Developmen Index (HDI) menekankan pada “kualitas manusia” (pendidikan dan kesehatan). Kriteria baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan  setiap negara  (disamping GNP) berupa Human Development Report (HDR). Saat ini kita juga melihat munculnya berbagai indeks Pembangunan yang lebih “manusiawi” seperti Happy Planet index, Social Development indicator, Cultural Development dan sebagainya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa yang terpenting dari pembangunan aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Misalnya pada pembangunan pendidikan, bila hanya diukur dari berapa “pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka itu bukan “pembangunan nilai”. Pertanyaan besar kita pada fenomena Ujian Nasional saat ini, Apakah  UN menghasilkan kehidupan Sosial-Budaya yang lebih baik?”

Apa makna dari ini semua? Pembangunan Sosial-Budaya  banyak diartikan sebagai “sektor” sosial budaya yang seolah olah inputnya uang namun outputnya bukan uang. Saat ini Yang kita perlukan adalah: kualitas “kehidupan Sosial-Budaya”. Untuk itu Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya harus berani  mengajukan  “proposisi” bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya,  Bellah misalnya, mengatakan: It is difficult to be a good person  in the absence of good society.(Robert Bellah)

Paulus Wirutomo, seorang sosiolog menawarkan  konsep Pembangunan Sosial  yang bersifat sosiologis  dimana pembangunan Pembangunan Elemen dasar kehidupan Sosial harus mengacu kepada tiga hal: struktur, kultur dan proses sosial.


STRUKTUR SOSIAL
Struktur  Sosial  diartikan sebagai pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara kelompok  sosial. Instrumen struktural digambarkan oleh Paulus sebagai alat dari suatu  kelompok sosial untuk  memaksa, memerintah, atau memberi kendala pada manusia atau kelompok yang lain yang dapat menimbulkan  “kekuatan Struktural”.

Kekuatan Struktural bisa menimbulkan  kesenjangan  sosial dan  ketidakadilan. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan (institutionalized) secara legal-formal (seperti Undang-Undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun yang tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb). Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk membangun  pola dominasi yang menindas  di masyarakat

Pembangunan di masyarakat kita saat ini selalu gagal mensejahterakan sebagian besar masyarakat Indonesia karena kondisi struktural kita yang sudah kritis.  Kemiskinan yang terjadi di negeri ini terutama adalah “kemiskinan struktural” yaitu: adanya sistem kekuasaan yang sengaja menciptakan dan mempertahankan kesenjangan pembagian “resources” (segala sumber-sumber mulai dari sumberdaya alam, pekerjaan, kredit, keadilan hukum, pelayanan publik, pendidikan dsb.).

Gambaran kemiskinan struktural di Indonesia
- rata-rata penguasaan lahan petani di pedesaan kini dibawah 0.25 ha. Bandingkan dengan para investor perkebunan sawit masing-masing memperoleh ijin untuk menguasai puluhan ribu hektar.
- Luas tanah terlantar:  7,3 juta ha  (133 kali luas Singapore), 85% dikuasai swasta. 
- Ketimpangan pendapat di Indonesia saat ini telah mencapai 0.536 pada skala Ginie (padahal 0.5 sudah merupakan titik kritis).
- Dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia 59% berkonflik dengan rakyat (591 kasus).
- Sejak 2004-2012 terdapat 618 konflik agraria dengan areal 2.399.314,49 ha dan lebih  dari 731.342 keluarga menjadi korban ketidakpastian agraria.
- Pemerintah menyerahkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai tugas antara lain: reformasi agraria dan penanganan masalah sengketa  pertanahan.
- BPN bekerja berdasar peraturan setingkat PP.

Di masa lalu Bung Karno menempatkan land reform  sebagai sebuah program politik. Tanah tidak boleh menjadi alat untuk menindas dan memeras hidup orang lain. Gambaran diatas menunjukan struktur yang timpang dan telah menjebak masyarakat kita dalam ketidak adilan yang akut. Kebijakan pembangunan ekonomi yang “tambal sulam” tanpa membenahi struktur secara mendasar tidak akan menghasilkan “kehidupan sosial-budaya” yang baik.

Apakah kita perlu melakukan koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar (terutama dibidang kehidupan politik) dalam rangka membenahi Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menentukan kehidupan  rakyat banyak seperti kebijakan pertanahan,  pertanian, perdagangan, impor-ekspor?


KULTUR BANGSA
Selo Soemardjan mendefinisikan kebudayaan sebagai : ”Segala hasil karya, cipta dan rasa masyarakat yang digerakan oleh karsa untuk  berlangsungnya kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat. Faham cultural determinism mempercayai bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya.

Acapkali kebudayaan selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat dalam rangka melindungi kepentingannya (vested interest). Golongan ini sering menindas golongan lainnya melalui legitimasi budaya (cultural hegemony). Lihatlah di beberapa daerah, mana yang lebih kuat adat istiadat atau kekuatan norma agama? Bahkan seringkali kita sulit membedakan mana yang adat dan mana yang ajaran agama.

Setiap masyarakat perlu agenda membangun Kultur untuk meningkatkan kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan. Pembangunan Budaya adalah Pembangunan nilai, seperti: pengembangan nilai-nilai keadilan, kerukunan, kepedulian , kemandirian, kejujuran, sinergi  (win-win solution). Contoh pembangunan budaya di era modern di Indonesia misalnya Program P4 dimasa Orba, Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural City, program “kesetaraan jender”. BKKBN berhasil menanamkan system nilai “keluarga kecil”,

Membangunan Kebudayaan sering bisa dipacu dengan pembangunan fisik. Misalnya Pembangunan Gelanggang Remaja, pembangunan sarana olah raga, pembangunan ruang publik, pembangunan transportasi massal, pembangunan sarana jalan yang manusiawi dsb.


PROSES SOSIAL
“Proses Sosial” menjadi penting, karena disinilah “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota masyarakat terjadi. Melalui proses sosial, individu maupun kelompok dapat mengekspresikan aspirasi secara  “bebas”, negosiasi yang dinamis dan kreatif antar anggota masyarakat, dan menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur yang ada (”social order is a negotiated order”). Pembangunan proses sosial bisa di akselerasi melalui pembangunan fisik, misalnya pada Gelanggang remaja, taman bermain, panggung-panggung kreatif dsb. Selanjutnya dalam proses sosial dikembangkan kesempatan masyarakat menyampaikan aspirasi dan opininya (public sphere) seperti: kebebasan pers, berorganisasi, jejaring social, diskusi publik, unjuk rasa, pengembangan civil society (LSM, Community Based Organization), termasuk meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat misalnya  Musrenbang, menghidupkan tradisi gotong royong di RT/RW dsb.

Kondisi “prosesual” di Indonesia di era Reformasi Secara sosiologis memiliki potensi yang sangat menjanjikan: ditandai dengan Desentralisasi dan otonomi, Kebebasan Pers, Kebebasan memperoleh informasi, adanya Mahkamah Konstitusi, KPK bahkan DPR/D termasuk pembangunan struktural  yang ditujukan untuk menampung aspirasi masyarakat untuk menegosiasi struktur dan kultur yang ada. 

Problemnya adalah ketika Pembangunan kehidupan Sosial-Budayatelah direduksi menjadi  “Pembangunan sektor sosial-budaya. Padahal kita tahu Kehidupan Sosial-Budaya (Socio-economic life) adalah mencakup seluruh kondisi interaksi dan interelasi sosial yang sistemik dan holistic  dari aspek ekonomi, politik, agama, keamanan dan sebagainya.